Jumat, 14 Juni 2013

monas



Ilham terbangun dari mimpi. Masih terlihat jelas gambaran monumen itu. Tinggi, menjulang hampir menusuk gerombolan awan putih serupa salju. Masih teringat jelas dalam mimpinya, puncak bangunan itu berkilau, terpantul sinar matahari pagi. “Emas”, begitulah kata Pak Guru  mengenai puncak monumen ketika menerangkan sejarah berdirinya. Apa yang Ilham temui melalui mimpi ternyata hampir serupa dengan gambaran yang disampaikan Pak Guru dalam pelajaran kemarin.
Ilham masih tertegun. Takjub akan pemandangan yang baru saja didapatinya, meskipun hanya sebuah mimpi. Sembari memandang langit-langit kamar yang berhias aneka rupa aksesoris gantungan  berbentuk hewan, Ilham berkata lirih, “Monas”. Tak lama menit berselang, Ilham tertidur lagi.
“Bangun Dik, jam dinding sudah menunjukkan pukul 04.30. Saatnya menunaikan sholat Subuh,”kata Ibu, lirih, membisik di sela liukan lubang telinga.
Ilham, anak berusia 11 tahun itu, merasa agak malas untuk bangun. Diliriknya Ibu dengan picingan satu matanya, kemudian ia tutup kembali. Ibu gemas, digelitiknya ketiak Ilham. Ia menggelinjang, meringis lalu tertawa. Ilham terbangun, rasa kantuknya hilang seketika. Demi menghindari serangan Ibu berikutnya, ia segera bangkit dari tempat tidur untuk menunaikan Sholat Subuh. Tapi tetap saja, pikirannya masih tertuju kepada bangunan monumen berpuncak emas itu.
---------
Ruangan kelas V Sekolah Dasar itu sudah penuh, walau pelajaran pertama hari ini dimulai 20 menit yang akan datang. Ilham melamun, jemari mungilnya sibuk menggores sebuah objek berbentuk seperti jarum raksasa dengan ujung berpola segitiga. Sekelilingnya digambarkan seperti hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Untuk yang terakhir ini, Ilham hanya mengarang, sebab Pak Guru tak sempat menceritakan gambaran di sekitar monumen itu.
“Hai Ilham, apa yang sedang kau lakukan?” Tanya Rudi yang duduk di bangku belakangnya.
Ilham terkejut, sembari menjawab, “Aku sedang menggambar monas.”
Rudi penasaran, “Boleh kulihat sejenak gambarnya?”
“Iya, silakan Rud,” kata Ilham.
Beberapa menit kemudian, Bu Guru Ida datang. Ruangan hening, seirama dengan suara Bu Guru Ida yang lembut menerangkan pelajaran. Semua murid menyimak dengan serius ilmu yang sedang diajarkan, kecuali Ilham. Tapi kali ini tidak sendiri, Rudi tampak melayangkan pandangannya ke jendela sebelah bangku, angan-angannya melambai bak dedaunan pohon jajaran tiang depan kelas yang bergerak halus tertiup semilir angin pagi. Sejuk sekali. Entah sampai di belahan bumi mana lamunan kedua anak itu. Yang jelas, senyuman tersungging dari bibir keduanya, hampir berbarengan.
-----------
“Mau kan Bu. Ilham ingin melihat monas, ingin mengusap ujungnya yang berlapis emas,” Ilham merengek kepada Ibu. Aduh, mimik mukanya terlihat begitu menggemaskan, di samping pipinya yang putih bulat. Oh iya, bibirnya mungil, merah muda warnanya.
“Ilham, saat ini Ibu dan Ayah sedang sibuk di kantor. Nanti kalau sudah luang, kita bertiga ke monas ya, Sayang,” kata Ibu.
“Hmm… baiklah Bu,”suara Ilham merendah, sedikit kecewa dengan jawaban Ibu. Ya iyalah, Ilham kan inginnya besok. BESOK. Titik. Tapi untuk kali ini ia bisa bersabar, merasa iba melihat Ibu dan Ayah yang hampir tiap hari sampai di rumah pukul 10 malam.
-----------
Akhirnya, saat yang dinanti-nantikannya pun tiba. Hari libur semesteran. Artinya, Ilham, Ayah, dan Ibu akan segera berlibur ke Jakarta. Seperti yang telah dijanjikan Ibu. Ke monas tepatnya. Eh, bukankah ada Rudi, teman sekelasnya yang juga ingin sekali mengunjungi monas?.
“Ma, Ilham ada satu permintaan,” Ilham memohon kepada Ibu ketika Ibu sedang beres-beres untuk persiapan berangkat liburan besok.
“Ya, apa itu Sayang?” kata Ibu.
“Hmm .. Ilham punya teman, namanya Rudi. Dia teman sekelas Ilham. Dia ingin juga ke monas, Ma. Tapi dia tidak punya uang, bapak dan ibunya tidak sanggup memberikan uang saku,” Ilham menjelaskan.
Ibu terlihat sedikit mengernyitkan dahi. Dilihat dari raut mukanya, Ibu bersimpati. “Iya, Ilham. Hubungi Rudi sekarang, agar ia segera dapat menyiapkan apa yang harus dibawa besok.”
“Alhamdulillah. Ibu baik sekali, dan juga cantik.”
 Ilham sangat gembira, diciumnya kedua pipi Ibu. Ilham girang bukan kepalang.
Segera ia berpamitan kepada Ibu dan Ayah untuk memberitahukan kabar gembira itu kepada  Rudi. Tangkas sekali kedua kaki anak itu, kendati jika dilihat dari belakang, tubuhnya hampir mirip huruf O.
--------------
Rudi seakan-akan tidak percaya. “Benarkah itu, Ilham?!”, katanya setengah histeris.
“Iya Rudi, Ibuku membolehkan kamu ikut,” jawab Ilham. Tak kalah histeris.
“Terimakasih ya Ilham. Sampaikan salamku untuk Ibu dan Ayahmu.”
“Sama-sama Rudi. Ya sudah, kalau begitu kamu siap-siap ya, besok pagi kujemput. Assalamu’alaykum”. Tak lupa, Ilham pamit kepada Ibu dan Bapak Rudi.
“Wa’alaykumussalam,” Rudi, Ibu, dan Bapak membalas salam.
Wajah Ilham tampak berseri-seri. Memang begitulah sifat anak itu. Baik hati. Ia gembira membuat orang lain bahagia.
Hari ahad pagi. Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Langit cerah, memerah, pertanda ufuk akan segera tiba. Udara sejuk, setitik embun masih tersisa di sela atap mobil ayah. Persawahan depan rumah tampak sedang menguning, segerombolan burung terlihat saling beradu strategi dengan musuh bebuyutannya, orang-orangan sawah yang dikendalikan oleh Pak Petani.
Seorang bocah sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dipersiapkan untuk perjalanan. Tampak sudah rapi ia. Tak lupa makanan kesukaannya, pisang goreng keju.
Bi Imah sejak sebelum Subuh sudah sibuk sekali. Beli pisang di pasar Paing, mengupasnya, membuat adonan, memarut keju, menggoreng, menaburinya dengan parutan keju hingga memasukkan ke dalam tempat makanan. Pokoknya dari A sampai Z. Kata Bi Imah kepada Ibu ketika Ibu ingin membantu, “Tidak Usah Bu, biarkan saya saja. Saya ingin Den Ilham tinggal makan”.
Iya, Bi Imah memang sayang betul sama si Ilham! Habis Ilham baik sih budi pekertinya, tidak pernah ia membentak Bi Imah, sekali pun!
Ibu masih di ruang tamu menyiapkan pakaian dan persiapan lainnya, sementara Ayah masih melihat siaran berita pagi. Rudi? Hmm.. baru saja ia selesai Sholat Subuh.
Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00. Masih pagi. Tapi Ilham tampak paling sibuk di antara yang lainnya. Rupanya sudah tidak sabar ia ingin melihat monas. Sebuah kertas yang sudah dilipat-lipat ia ambil dari saku celana. Ia pandangi. Gambar sebuah bangunan –ia banggakan kepada Ibu dan Ayah sebagai gambar monas, yang sebenarnya lebih mirip gambar topi badut—dengan ujung berbentuk datar dan ada dua orang membawa bendera merah putih.
 “Siapa itu?” kata Ibu saat melihat gambar Ilham.
“Itu Ilham dan Rudi, Ma,” jawab Ilham, serius.
Ibu menahan senyum, tapi segera setelah menyadari anak semata wayangnya itu terlihat serius, Ibu menyembunyikan senyumnya.
“Assalamu’alaykum,” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing di telinga Ilham datang dari halaman rumah.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Ilham dan Ibu dari dalam. Oh .. ternyata suara Rudi.
“Masuk, Rudi. Ini Ilham sedang mempersiapkan bekal untuk perjalanan,” Ibu mempersilakan Rudi untuk masuk ke ruangan tengah.
“Iya Bu, nuwun sewu.”
Pagi itu suasana pedesaan tempat mereka tinggal sungguh menyenangkan. Lihatlah, sekelompok burung kutilang sedang berkicau. Gemerisik dedaunan pohon pinggir jalan desa seakan menyapa setiap orang yang melaluinya. Lambaian daun pohon pisang juga tak kalah sibuknya, melambaikan kebahagiaan dan semangat bagi penduduk desa yang terlihat mulai beraktivitas.
 Dua anak sebaya di dalam kamar sedang asyik mengobrol, saling menceritakan imajinasi mereka tentang monas. Sesekali mereka tertawa, entah apa yang ditertawakan. Di ruang tengah, tampak Ayah dan Ibu saling berpandangan, kemudian tersenyum geli demi melihat tingkah polah keduanya. Dari kejauhan, sebuah senyuman kecil tergurat dari bibir Bi Imah, sembari mendendangkan sebuah lagu Jawa Timuran. Semua penghuni rumah sedang berbahagia rupanya.
--------









Selasa, 08 Januari 2013

proses untuk sebuah kejadian



PROSES

“Hadapi segala sesuatu dengan sikap sabar”.
Kalimat Pak Guru senantiasa terdengung di telinga, terpatri jauh di lubuk hati yang paling dalam. Sebuah kalimat yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah pengembaraan panjang tentang makna kehidupan. Sebuah proses yang membutuhkan kesabaran, keuletan, ketegaran, dan keikhlasan bagi setiap insan yang mengalaminya.
Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, kelas empat. Pertanyaan kulontarkan kepada seorang guru tatkala sedang mengajar pelajaran sosial. “Pak, apakah kami semua akan menjadi orang-orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan Negara Indonesia?”.
“Kalian semua mempunyai peluang yang sama untuk menjadi orang yang berkahlak mulia, yang kelak dapat memberikan sumbangsih kepada Negara Indonesia. Semua butuh proses, dan segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Jam pelajaran pada hari itu telah selesai. Tidak seperti biasanya, aku sengaja menyempatkan waktu untuk sejenak mengunjungi taman sekolah. Terik matahari pukul 11. 00 kuabaikan. Aku begitu semangat untuk melihat sekuncup bunga yang sedang merekah. Tadi pagi, kulihat bunga itu masih berbentuk kuncup. Aku penasaran apa yang terjadi siang itu.
Kulihat sekeliling. “Azka, apa yang sedang kamu kerjakan?”, rico, teman sekelasku menyapa,
“Iseng saja Rico, aku mau melihat bunga-bunga yang sedang berkembang ini”, jawabku sedikit antusias.
“Ya sudah, aku pulang dulu ya”, katanya.
“Baiklah, hati-hati di jalan”, pesanku.
“Okay, terimakasih”, balasnya.
Sudah hampir setengah jam aku termangu di depan sebuah pohon bunga mawar. Kuteliti satu per satu tangkainya. Setidaknya, tak kurang dari dua puluh bunga berwarna merah sedang berkembang indah. Sisanya, sekitar sepuluh, masih berupa kuncup.
Aku merenung, menerawang segala proses yang telah berlalu pada kejadian itu. Bagaimana bisa sebuah kuncup kecil berubah menjadi setangkai bunga yang merekah indah. Apa saja yang ia lalui, hambatan dan rintangan apa yang akan dan telah menghadang. Rentetan pertanyaanitu  mengerubuti pikiranku. Memang inilah tujuanku di taman sekolah. Mencari makna kearifan hidup atas jawaban dari Pak Guru, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
“Subhanalloh…” aku bertasbih.

------------

Udara agak panas, di dalam sebuah ruangan kecil yang pengap dan sedikit gelap. Pak Ujang, nama orang itu, masih saja bergelut dengan seonggok tanah liat. Kutatap tajam kedua tangan lincahnya, mulai dari menata tanah liat, mengaduknya, hingga menempatkannya pada sebuah alat pencetak.
Aku sengaja menyempatkan waktu ke sebuah pabrik kecil pembuatan guci dan barang pecah belah lain. Bahkan seragam putih abu-abuku pun masih belum kulepas. Ingatan itu masih saja membayangi, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Aku mendapat sebuah pelajaran berharga dari kejadian ini. Bagaimana tidak, dari seonggok tanah liat yang kotor dan mungkin bisa jadi tidak berharga bagi sebagian besar orang, setelah melalui proses yang panjang, jadilah ia sebuah guci yang cantik.
Tanah liat saja yang tidak dikaruniai akal pikiran sanggup untuk bertahan menghadapi gelombang ujian, mengapa aku tidak mampu?.
Memang, semua itu butuh kesabaran, kekuatan, keikhlasan. Toh, akan terasa indah pada waktunya, bukan?.
Aku terpekur. Diam mengoreksi diri. Kehidupanku serba berkecukupan, orang tua mampu menyediakan apa yang aku mau. Pernah suatu kali aku merajuk kepada ibuku. Penyebabnya sederhana: Ayah tidak bersedia membelikanku motor, dan ibu tidak mau untuk membujuk ayah!. Aku memang tidak berani merajuk kepada ayah, karena memang ayahku mempunyai sikap yang tegas dan keras. Maka, ibuku lah korban merajukku. Ah, aku malu.
Kuteruskan pengembaraan jiwaku, hingga sampai ke sebuah titik kulminasi. Aku lemas, jiwaku terasa lelah. Akibatnya, aku jatuh sakit. Berbagai usaha penyembuhan medis ditempuh orang tuaku, namun semuanya gagal. Aku belum pulih. Hingga dalam sebuah kondisi, antara sadar dan tidak, aku menemukan sebuah pengalaman hebat.
Saat itu, aku sedang berada di sebuah pasar tradisional. Suasananya ramai, riuh rendah oleh nada diplomasi pedagang dan pembeli. Di sela keramaian itu, aku melihat seorang anak kecil yang lumpuh kedua kakinya. Kuperhatikan wajahnya, bersinar dan memancarkan aura kelembutan hati. Ternyata, ayahnya adalah seorang pedagang buah. Ia ikut membantu melayani pembeli yang hilir mudik memenuhi kios. Tanpa sadar, aku terjatuh, kemudian menangis. Entah apa yang kutangisi saat itu, aku lupa. Hanya saja, terpancar dalam hatiku untuk segera bangkit dan berlari menuju anak itu. Semangat hidupku muncul, memancar begitu derasnya dari sanubari. Ingin kudekap ia, sebagai tanda rasa simpatiku atas semangat hidupnya. Maka, aku pun berlari, tanpa memedulikan keadaan sekelilingku. Ketika hampir saja kedua tanganku mendekapnya, tiba-tiba aku terbangun.
Kamar berukuran 5x6 meter persegi itu telah ramai. Pelan-pelan mataku terbuka. Kulihat ayah dan ibu di sisi kanan, selain tante Yuli dan om Hadi. Di sisi kiri, ada ketiga adikku beserta kakek dan nenek. Ada lagi selain mereka, namun aku kurang ingat siapa saja. “Alhamdulillah”, pekik semua orang.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhku berasa segar kembali saat itu. Ada semangat yang membuncah di dada, beriringan dengan kondisi kesehatan fisikku yang semakin membaik.
Dua hari kemudian, aku sudah keluar dari rumah sakit. Dokter menyatakan aku sehat 100%. Tinggal pemulihan saja yang harus kujalani!.
Dalam perjalanan pulang, di jok tengah mobil ayah, ibu menanyakan, “Azka, ibu kaget melihat cepatnya pemulihan kondisi kesehatanmu dua hari yang lalu”.
“Kami sempat khawatir, karena detak jantungmu sempat berdetak pelan sekali”, ibu berkata sembari mengusap kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ibu memelukku. Sekujur tubuhku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Mobil melaju dengan lambat, seirama dengan kemacetan Kota Jakarta yang masih belum bisa terpecahkan.



jejak cerita seorang anak



Ia terbangun. Sisa-sisa kejadian semalam membuat pening kepalanya. Dengan sedikit tenaga. ia coba menoleh lutut kaki kirinya. Perih, dan sesekali ia meringis pilu. Sekitarnya hanya ada dinding-dinding bata, mengitari dirinya yang hanya berbalut kain sarung dan kaos kumal putih bersemu merah tua bekas darah yang membeku.
Keadaan hening sementara, kedua matanya tampak sayu, tebal  berwarna biru, seperti bekas pukulan benda tumpul. Suara burung berkicau di pucuk dahan pohon mangga masih belum mampu menegakkan tubuhnya.
 Dahulu, pagi-pagi sekali ia bangun, mengambil air wudlu dan segera berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Bisa dihitung, bahkan sesekali hanya dirinya saja anak SD yang hampir tiap pagi datang pagi-pagi ke Masjid, sembari tergesa-gesa mengikuti langkah kaki ayah yang seorang imam sholat. Di depan halaman rumah berdiri kokoh sebatang pohon mangga. Di pucuk rantingnya seringkali ia dapati sepasang burung kutilang beserta anak-anak mereka sedang beraktivitas di atas sarang rumput sederhana.
 Sungguh bahagia keluarga kecil itu; melewati hari-hari dengan penuh keceriaan sejati, berkicau merdu nyanyian alam pagi. Mungkin, menjelang tidur malam, sejenak mereka berkumpul saling menceritakan pengalaman yang didapatkan hari itu. Tentang orang tua yang mencari makanan untuk anak-anaknya, atau kisah seru tentang pengalaman pertama sang anak diajarkan cara bagaimana terbang.
Samar-samar teringat olehnya, setiap pagi ia dan ayah pergi ke surau untuk menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Bercanda bersama teman-teman sejawat setelah mengikuti tahsin di Masjid, atau sesekali berkelahi karena masalah rebutan shaf sholat Isya’ terdepan. Walaupun akhirnya, tetap saja shaf itu milik orang-orang dewasa.
Ia mengaduh, menahan sejuta perih terkelindan menjadi satu, bercampur bersama hasrat untuk mengingat kejadian semalam. Dan ia pun kalah, tak kuasa melawan sakit yang sedari tadi menyerang. Setelah itu semuanya berubah menjadi putih... dan gelap...
Sekarang ia sendiri, terasing di antara gaduhnya geliat penghuni jagat meraih rizki dan anugerahNya. Semuanya terasa sunyi, meski ternyata seisi rumah telah mengelilingi. ”Ibu, Ayah, Mas Roni,” lirihnya.
”Sudah, istirahat saja Nak, tak usah kau berbicara dulu,” dengan meneteskan air mata Bu Mirnah menasihati.
Jarum jam menunjukkan angka 10, sementara matahari tak begitu terang bersinar, tertutup awan mendung. Hening menyapa suasana, serasa jam dinding tak begerak. Sudah lebih dari lima jam ia pingsan.
Beberapa waktu lamanya Irgi, namanya, hanya bisa menitikkan air mata ketika ibu dan ayahnya berkali-kali menasihati dan mendoakan untuk kesehatannya. Sejak peristiwa semalam, ia menyerah. Sedikit-sedikit ia ingat jalan ceritanya. Dan ia mulai merajut satu demi satu fragmennya.
Semalam, ia dan beberapa teman pergaulannya sedang mabuk, merayakan kemenangan atas balap liar malam sebelumnya. Beberapa botol minuman keras mereka tenggak, hingga membuat mereka berada di bawah kesadaran. Dengan mengendarai sepeda motor, mereka lempari rumah penduduk dengan batu dan beberapa benda keras lainnya. Sungguh, tingkah polah gerombolan pemuda tanggung itu telah meresahkan warga.
Tak rela rumahnya dirusak, warga pun menghentikan laju motor mereka, dan menghajar ramai-ramai. Seorang temannya meninggal saat dilarikan ke rumah sakit, sementara Irgi mengalami beberapa luka yang agak serius. Kalau bukan atas pertolongan Alloh melalui Mas Roni yang kebetulan sedang bersama para Jama’ah Masjid usai menghadiri sebuah pengajian dekat tempat kejadian perkara, mungkin akan lain cerita.
”Irgi,” kata Ibunya, lembut.
Irgi hanya mengerdipkan matanya yang sayu.
”Kau masih ingat kan, cerita indah ketika dirimu masih kecil,” suara Ibu parau, menggetarkan hati.
”Tentunya kau masih ingat, saat jemari mungilmu lincah menunjuk huruf-huruf Al Qur’an, nafasmu yang pendek namun penuh semangat melantunkan surat-surat yang kau sukai. Merdunya suaramu sungguh Ibu rindukan. Tak akan pernah Ibu lupakan, ketika sayup-sayup suaramu menghafal surat An Naba’ tengah malam membangunkan Ibu. Lalu dengan langkah yang Ibu atur sedemikian rupa supaya tak mengganggu konsentrasimu, kudengarkan suaramu dekat-dekat. Supaya Ibu dapat merasakan azzammu yang kuat untuk menghafal kalam Illahi,” Bu Mirnah tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
Melelehlah butiran air mata penuh cinta dan kasih sayang orang tua itu.
Dan lagi-lagi, Irgi pun hanya dapat terpaku, diam tak tahu harus berkata apa. Matanya merah, kemudian basah...
Sejujurnya, ia ingin mengucapkan kata maaf kepada kedua orangtuanya. Memeluk kedua orang yang paling berjasa dalam hidup yang telah mengenalkannya kepada Tuhan sejak kecil. Ia baru menyadari, apa yang selama ini dikerjakannya adalah jauh dari ridlo Illahi. ”Alloh,” lirihnya. ”Jauh sudah kaki ini berbelok dari jalanMu”.
Lamat-lamat ia mulai muroja’ah surat-surat dalam Al Qur’an yang telah ia hafalkan. Al Fatihah, Ar Rahman, Al Jumu’ah, An Naba’, dan surat-surat pendek lainnya. Hatinya kelu bercampur rindu. Iya, dia rindu suasana kecilnya. Ia rindu  lantunan tilawah Syaikh As Sudais, seorang Qori’ sekaligus Imam Masjid di Makkah. Ia rindu Alloh.. Tak tahan ia membendung kerinduan yang semakin lama semakin menjadi, ia tumpahkan semuanya dalam alunan dzikir dan kalimat taubat. ”Astaghfirullohaladzim”.
Bepuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kali ia ucapkan Istighfar, hingga tak lagi memperdulikan kondisi kesehatan yang semakin menurun. Sudah berkali-kali aliran air mata membasuh pipinya. Sungguh... kedamaian dan kesejukan serasa kembali hadir dalam jiwa. Kedamaian sejati, berasal dari Illahi!.
Jam dinding menunjukkan pukul 19.00. Adzan Isya’ baru saja berkumandang. Segalanya bermula dari isakan tangis kecil, yang kemudian meledak menjadi tangisan yang sungguh memilukan hati. Ibu, ayah, mas roni, dan semua yang hadir di samping Irgi seakan belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”.. ucap semuanya.
Irgi telah menghembuskan nafas terakhir, teriring sebelumnya kalimat syahadat dan wajah tersenyum yang melegakan bagi siapa saja yang memandang.
 ”Semoga Alloh melapangkan jalanMu ke arah ridlo SurgaNya, menghapus semua dosamu dan mengakhirkanmu dalam keadaan khusnul khotimah,” Mas Roni berdo’a sembari diaminkan oleh semua yang hadir.