Semua
bermula dari sini, di sebuah surau kecil kampung kami. Ukurannya hanya sekitar 8x6 meter, dengan beranda berukuran
2x8 meter. Dinding bagian dalam yang bawah berwarna hijau, sedangkan yang atas
berwarna putih. Ruangan disekat menjadi dua bagian, dengan kelambu tipis
berwarna hijau. Sebelah utara untuk jama’ah perempuan, sebelah selatan untuk
jama’ah laki-laki. Setiap menjelang bulan Ramadlan, warga sekitar disibukkan
oleh berbagai aktivitas: mengepel lantai, mencuci karpet yang sudah kusam,
membetulkan genteng yang menghitam, mengecat dinding, dan menyapu halaman kecil
depan surau. Kami melakukan semuanya dengan kesadaran dan biaya yang kami
tanggung sendiri. Biasanya kami
memilih hari Minggu, saat kebanyakan dari kami istirahat dari rutinitas kerja sehari-hari.
Atau kalaupun ada di antara kami yang mempunyai jadwal kerja, kami akan
sempatkan sejenak untuk berkumpul di depan surau.
Pengurus
surau pagi-pagi sekali mengumumkan adanya kerja bakti membenahi surau. Saya,
dan beberapa anak-anak kecil lainnya pasti berada di barisan paling depan
”pasukan” pencuci karpet. Semata-mata hanya ingin naik mobil pick up yang kami
sewa untuk membawa karpet ke tempat pemandian Bektiharjo. Sudah terbayang di
benak kami tentang ramainya tempat wisata itu di akhir pekan. Tentang gemericik
air bening, tentang rindangnya pepohonan di sana, serta
tentang....hmmm....segelas es kelapa favorit kami tentunya.
Pagi
itu, di hari minggu yang cukup cerah. Surau kami bernama Asy Syukron.
Sederhana, dengan bentuk segi empat. Samping kanan, kiri, dan belakangnya
adalah rumah-rumah penduduk. Di depannya terdapat halaman yang tidak terlalu
luas, cukup untuk memarkir beberapa sepeda mini kami. Di sudut kanan depan
surau kami, berdiri sebatang pohon belimbing. Sudah cukup tua, terlihat dari
batangnya yang sudah berlubang di beberapa titik batangnya. Tapi, jangan heran
saat musim panen belimbing tiba. Sekarung besar pun tak akan mampu memuat
buahnya. Saat itulah peran kami, bocah-bocah ingusan pantai, untuk segera
memetik ratusan buah segar itu.
Beberapa
meter dari pohon belimbing terdapat sebuah kolam kecil, dengan kedalaman
sekitar 1 meter. Pengurus surau sengaja membiarkan airnya mengeruh, sehingga terlihat
agak kurang terawat. Ternyata bukan tanpa alasan. Pernah suatu ketika kutanya
perihal itu, dan Mas Dodos, begitulah panggilan pengurus surau itu, menjawab
singkat, “Coba Sampeyan lihat, itu kan ada beberapa ekor ikan lele. Mereka tidak
menyukai air jernih, makanya Mas Dodos membiarkan airnya mengeruh”.
Tak puas dengan jawaban yang seadanya itu, aku
pun bertanya lagi, “kenapa mereka suka air yang keruh Mas?. Bukannya ikan suka
air yang jernih?. Buktinya, ikan cupangku ada yang mati karena airnya keruh.
Guruku pernah bilang, air yang keruh kadar oksigennya rendah, bisa menyebabkan
ikan mati karena kurang oksigen”.
Mendengar
penjelasanku yang panjang kali lebar itu, mas dodos tersenyum, lantas berkata,
“Ikan lele bisa bernafas walaupun di dalam lumpur sekalipun, malahan dia kurang
bisa berkembang kalo airnya jernih”.
Aku pun
terdiam saat itu, masih ada sebuah pertanyaan mengganjal dalam hati, dan masih
jelas kuingat, esok harinya aku menanyakan kepada guru di sekolah tentang
alasan kenapa lele bisa bernafas dalam lumpur.
“Mas Dodos,
mobil pick up sudah siap,” seru ihsan, kawan sepermainanku, yang juga sepupu
mas dodos.
Bagi
kami, aba-aba seperti itu terasa bagaikan panggilan lembut penghantar
imajinasi. Ya, bayangan kami tentang pemandian Bektiharjo akan mendekati
kenyataan. Lagi-lagi tentang gemericik air bening, tentang rindangnya pepohonan
di sana, serta tentang....hmmm....segelas es kelapa favorit kami tentunya...
Lima
belas menit perjalanan sudah kami lalui, maka sampailah kami di depan pintu
pemandian. Aroma kesegaran alam pedesaan menyusup pori-pori hidung, mengalir
bersama pesona khayalan tentang keindahan, kesejukan, dan aneka rencana yang
bisa kami tuntaskan pagi itu. Setidaknya, ada beberapa kegiatan yang ingin
kulakukan. Seandainya kau tahu, kau pun pasti akan melakukan hal yang sama.
Berenang!. Iya, berenang... Namanya juga tempat pemandian, tentu saja kolam
renang menjadi pusat arena berkumpulnya orang-orang untuk melepaskan diri dari
kejenuhan rutinitas. Di sana ada satu
kolam renang dengan ukuran agak luas. Terpisah dinding olehnya ada sebuah
tempat mata air yang bening (kami menyebutnya sendang), biasa digunakan
untuk membilas tubuh oleh bercampurnya air kolam renang dengan aroma tawas yang
memang kadang cukup tinggi kadarnya.
Selain
itu, ada satu hal menyenangkan yang sayang sekali untuk dilewatkan. Kau tahu
kan, apa yang bisa dilakukan ketika mendapati pohon-pohon besar bersulur
panjang menjuntai hingga ke tanah???. Bagi kami, itu adalah momen tepat untuk
memanjat sembari bermain ”tangkap aku kalau mampu”. Semacam petak umpet, hanya
saja dibagi dalam dua grup. Yang pertama, grup yang mengejar, yang kedua, grup
yang berlari. Dan asal kau tahu saja, mengejar dan berlari bukan di atas tanah,
tapi di ranting-ranting pohon!!. Untuk masalah ini, temanku bernama Redi yang
paling jago. Berapapun tinggi pohonnya, ia pasti mampu menggapai puncaknya.
Entah seberapa besar nyalinya, dan entah berapa puluh pohon ia taklukkan.
Pernah suatu ketika kusempatkan untuk bertanya tentang cita-citanya. ”PILOT
PESAWAT TEMPUR”, katanya lugas.
Habis
Dluhur kami pulang. Karpet sudah bersih, walau tetap saja...usang..
...............
Ramadlan
telah berjalan tiga hari, dan nanti malam bertepatan dengan malam minggu. Biasanya
kami bermalam di surau. Dan... perjalanan sedang dimulai...
Kami, anak-anak ingusan pantai, setelah acara
tadarus Al Qur’an yang dilaksanakan bada Sholat Tarawih, sudah mulai stand
by di musholla. Cukup lah untuk sekedar berbaring berjejer rapi bagi lima
belas hingga dua puluh kepala. Sekitar pukul 11 malam, lampu kami matikan.
Memang, bukan hanya kami saja penghuni malam itu, karena tak sedikit juga
senior yang turut serta beristirahat di sana. Hanya bedanya, kami niatkan malam
itu untuk tidur sejenak, lalu bangun sekitar pukul 2 pagi demi berkeliling
membangunkan orang makan sahur. Berbagai perkakas kami gunakan untuk membentuk
nada sederhana, kalau tak sopan untuk dikatakan ”suara bising pengganggu tidur
malam”. Tiga atau empat potongan bambu kami sebut dengan ”tongklekan”, satu
lempengan kecil besi, dan satu atau dua panci rusak kami pakai untuk berkonser
tengah malam. Jangan dibayangkan akan berbentuk seperti konser orkestra atau
sejenisnya, karena nanti kau akan kecewa. Bahkan tertawa. Namun, itulah kami,
anak-anak ingusan pantai, yang mencoba untuk sedikit memberi arti kepada orang
lain. Walaupun kadang tak berakhir bahagia.....
Suatu
ketika, kami mulai parade tongklekan pukul 12 malam, niatnya hanya untuk pemanasan
saja, saking gembiranya kami melewati malam pertama bulan Ramadlan. Tak
disangka, dari belakang ada seorang bapak yang mengguyurkan air ke arah kami
sembari memaki. Dengan nada marah dia memaki kami sambil mengabsen satu per
satu beberapa nama hewan yang dia
ketahui. Tak ayal, selain tubuh kami basah, hati kami memendam rasa sakit.
Ivan, seorang teman yang terkenal bandel, mempunyai ide brilian. ”Petasan,”
katanya singkat.
Kami
kembali ke musholla, di halamannya saja. Takut kena marah mas dodos kalau kami
sampai meninggalkan bekas air di dalam musholla. Ivan mengambil beberapa
bungkus petasan yang dibelinya tadi siang. Tak lupa, kami pasang kertas rokok
yang berfungsi seperti sumbu agar tidak terlalu cepat meledak. Tanpa pikir
panjang dan menghiraukan kondisi kami yang kedinginan, segera saja kami
mengendap-endap menuju samping rumah pak Yono (bukan nama sebenarnya). Kami
bergerak dengan sangat hati-hati, ivan bertindak sebagai peletak petasan,
sedangkan saya sebagai pengawas sekitar, barangkali ada orang yang lewat. Kalau
ada yang mengetahui tindakan kami, habislah kami!!.
Ihsan
bertindak sebagai penyulut petasan. Dengan menggunakan korek api ayahnya,
dengan sigap ia nyalakan satu per satu petasan yang telah dipasang oleh Ivan..
Tak kurang dari sepuluh buah. Rupanya ivan menaruh dendam kesumat. Ia tidak
terima diperlakukan seperti itu. Dan ia berhasil memprovokasi kami untuk ikut
dalam siasat jahatnya. Kami dendam, hati kami panas, tak terima diperlakukan
seperti itu. Kami mengekor ivan.
Beberapa
detik berlalu, dan kami masih asyik menunggu apa yang akan terjadi. Kami
tertawa cekikikan, membayangkan muka pak Yono setelah mendapati rumahnya kami
”ladar”. Di sebelah rumah Pak Yono, sekitar 50 meter, ada semak belukar, di
baliknya adalah tanah lapang. Seandainya kami ketahuan, langsung saja kami
putar badan dan kabur menuju tanah lapang. Lalu kami akan berpencar agar susah
untuk ditangkap. Dan poin bertemunya tentu saja di Surau. Tutup pintu surau
rapat-rapat, lalu kami pura-pura tidur. Sempurna!!. Begitulah siasat yang coba
dijelaskan oleh Ivan. Kami mengangguk, aroma kemenangan sudah di depan mata.
Sekitar
semenit kemudian, akhirnya saat itu pun tiba. Satu per satu petasan kami
meledak, menimbulkan suara yang cukup gaduh di malam yang sunyi. Sekitar pukul
01.00. Keadaan sekitar lengang, jalanan kampung masih sepi. Mungkin orang-orang
masih tidur, atau melakukan tilawah dan sholat malam di dalam rumah. Tak kuasa
tawa kami meledak, berbarengan dengan seseorang yang keluar dari rumah sembari
mengeluarkan umpatan. Kami diam beberapa saat, mengamati orang itu, yang
ternyata adalah pak Yono. Ia mondar-mandir menyebar pandangan ke sana kemari. Tak
menemukan siapa-siapa di sekitarnya, ia pun masuk kembali ke rumah. Marah,
kesal, dan penasaran sepertinya terpancar dari gerak-gerik tubuhnya. Kulirik
ivan, mukanya merah menahan tawa. Dua
garis pancaran sinar lampu penerang jalan mengenai muka bulatnya. Senyumnya
mulai mengembang lebar, sejalan dengan pekikan suara tawanya yang mulai lepas. Tanpa
pikir panjang, pelan-pelan kami melangkah mundur, balikkan badan, dan
langsung....KABUR!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar