Rabu, 21 Juli 2010

Sebuah catatan

Bersabar dengan keadaan yang ada, jalani peranmu dengan nuranimu..

Analogi dunia pewayangan menuntut peran kita sebagai wayang dalam kisah yang telah digariskan oleh sang dalang. Mutlak, dan kita tak bisa menolak sekecil apapun tugas (baca: peran) yang telah diamanatkan. Sebelum berbicara lebih jauh, kita samakan persepsi mengenai hakikat wayang dan dalang. Secara sederhana, definisi wayang adalah kumpulan karakter yang telah ditetapkan oleh dalang untuk memerankan sebuah lakon dalam suatu pentas. Sedangkan dalang di sini merupakan pemain utama yang berhak dan bebas menentukan arah maupun ending dari sebuah pentas pewayangan. Dari sini jelas hubungan antara keduanya sangat bersifat horizontal. Dalang bilang ”A”, dan wayang pun bertindak ”A”. Tak perlu sebuah usaha dari wayang untuk merubah nasibnya, karena hanya akan sia-sia belaka.Itu definisi wayang dan dalang dalam kisah-kisah Mahabarata ataupun kisah pewayangan kontemporer sekarang.
Namun, kita tarik definisi di atas dan kita gantikan dengan makna yang lebih nyata, humanis, dan representatif dengan keadaan kita, manusia yang diberikan akal dan perasaan untuk berpikir dan merasa. Tuhan memberikan hak dan kesempatan kepada kita untuk melangkah sesuai dengan apa yang kita inginkan, bercita-cita, berharap, dan berobsesi. Dengan cara apapun, kondisi apapun, dan tingkat ikhtiar apapun Namun tentu saja berdasarkan atas hukum dan peraturan yang berlaku dari ”Sang Dalang Yang Maha Berkuasa”.
Kita ambil definisi wayang dari definisi kedua, karena memang Tuhan menciptakan manusia dengan memberikan banyak pilihan. Hal ini berkonsekuensi logis bahwasanya manusia diwajibkan untuk berusaha semaksimal mungkin untuk meraih apa yang diinginkan, sebagai bagian dari ibadah jika dilakukan dengan niat ikhlas dan hanya untuk mendapatkan ridlo Nya semata.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia memang tempatnya salah dan khilaf, wajar jadinya jika seringkali merasakan kesedihan, kegundahan, dan bahkan menangis sendiri merenungi kesalahan yang telah dibuat. Dalam ilmu etika, hal ini dikaitkan dengan hati nurani yang bersifat retrospektif, yaitu hati nurani akan memberikan penilaian berupa penyesalan atas perbuatan yang kurang terpuji di masa lampau, atau bahkan pujian atas perbuatan terpuji yang telah dilakukan. Namun, terkadang manusia juga enggan berinstropeksi diri, sehingga yang ada hanya kritikan yang diberikan kepada orang lain dan enggan menerima saran.
Kita sering terlena terhadap keadaan yang sedang atau telah kita lewati. Sebuah euforia semu yang akan mengantarkan kita ke dalam jurang pemikiran sempit. Merasa sedih ketika ada cobaan yang sedang melintas di depan mata, kemudian mengkorting diri sendiri dengan berpikiran pesimis dan merasa kalah sebelum bertanding. Menangis meratapi nasib yang seakan-akan bagaikan hari esok sudah tak ada guna lagi, toh mungkin juga akan sama dengan hari ini, lusa, dan masa depan yang kelabu. Kalau sudah terjebak dalam pola pemikiran utopis-melankolis seperti ini, maka hasrat untuk bertindak dan berubah sudah mendekati kata musnah. Bagaimana mungkin kita dapat melihat apa yang ada di depan mata di malam hari tanpa cahaya apapun???. Seandainya kita berandai-andai dan menebak ”mungkin ada singa de depan kita yang telah bersiap memangsa”, ataukah ”ada jurang yang dalam berada di sekitar beberapa meter depan kita”..Apakah kita akan merasa nyaman dengan keadaan sekarang? Tentu saja tidak sama sekali!!!. Kita hanya akan diliputi perasaan cemas dan takut, sehingga akan berkonsekuensi logis mengekang pikiran kita untuk berpikir lebih luas dan bersolusi ”bergerak ke kiri, ke kanan, atau yang lebih logis dengan menyalakan lamu senter”. Bukankah Tuhan memberikan sebuah masalah kepada manusia disertai dengan solusi?.
Terkadang kita merasa lelah, lemah, dan tak terarah ketika menghadapi sebuah masalah yang tak kunjung usai.
Jangan pernah bilang, "Apa yang telah kuperbuat untuk negara ini sebagai PNS?". Tapi ucapkan, " Apakah sudah maksimal peran kita sebagai PNS selama ini?”. Apapun peran kita, yakinlah bahwa semua itu bentuk pengabdian kita pada negara..Ikhlaskan hatimu, luruskan niatmu, dan jalani peranmu sesuai dengan jenjang dan ruang lingkup tugasmu...

Selasa, 20 Juli 2010

WAKTU

Pagi itu, saya bangun pukul 07.01 WIB. Hari kerja, namun saya lupa bertepatan dengan hari apa. Tidak seperti biasanya, pagi itu saya merasa lelah sekali, sehingga alarm yang saya pasang pada pukul 06.30 WIB serasa tidak berbunyi.
Pagi itu, sehabis Sholat Subuh saya sempatkan tidur sejenak untuk mengurangi rasa kantuk yang memang susah untuk dihilangkan. Beberapa hari sebelumnya saya memang kurang tidur, dan mungkin pagi itu adalah akumulasi dari rasa kantuk yang ada.
Begitu melihat jam di Handphone yang menunjukkan pukul 07.01 WIB, sontak saya langsung meluncur menuju kamar mandi. Singkat kata, tak lebih dari 20 menit berselang, saya sudah siap untuk berangkat ke kantor. Saya biasa naik sepeda motor (itupun baru beberapa bulan terakhir), dan sesekali saya sempatkan untuk berjalan kaki agar ada sedikit kerja otot kaki, jantung dan bagian-bagian tubuh yang lain. Memang, hampir seminggu sekali saya berolahraga, setidaknya bermain futsal.untuk mengimbangi gerak tubuh yang minim sekali dan untuk menyegarkan pikiran tentu saja. Namun, menurut hemat saya, berjalan kaki menuju ke kantor sangat menyenangkan dan menyehatkan. Peredaran darah bisa berjalan dengan lancar, mengurangi terjadinya kram otot kaki, mencegah osteoporosis, mengurangi tingkat resiko stres, dan manfaat-manfaat lainnya.
Waktu menunjukkan pukul 07.19. Saya berpikir sesaat, ada dua alternatif untuk berangkat ngantor. Pertama, naik sepeda motor. Kedua, berjalan kaki. Untuk alternatif pertama, saya pesimis untuk bisa sampai kantor sebelum pukul 07.30 (batas maksimal waktu absen pagi, lewat waktu itu, absen dipotong sebesar 1,25 %). Pasalnya, saya membutuhkan waktu rata-rata 12-15 menit untuk sampai di depan mesin absensi. Sedangkan, untuk mengeluarkan motor dari kos (agak susah karena harus membongkar-pasang gerbang kos) plus memanasi mesin motor, saya butuh waktu sekitar 4 menit. Sedangkan untuk alternatif kedua, lebih tidak memungkinkan lagi. Dengan kondisi fisik yang agak lelah, kondisi jalanan yang waktu itu agak becek setelah hujan mengguyur semalaman, dan estimasi waktu yang sekitar 15-20 menit untuk sampai di kantor, saya memutuskan untuk tidak memilih altenatif ini.
Tiba-tiba saya mendapat sebuah pilihan lain, naik ojek. Kebetulan di dekat kos ada pangkalan ojek. Bismillaahi tawakkaltu ’Alallaahi Laa Khaula Walaa Quwwata Illaa Billaahil ’Aliyyil ’Adliim... Segera saya langkahkan kaki dan menghampiri seorang tukang ojek yang sudah saya kenal sebelumnya. ”Bang, tolong sedikit ngebut ya, kita ke lapangan banteng”, pesan saya kepadanya. ”Iya mas, kita ngebut kayak banteng yuk”, candanya sambil tertawa. Saya tersenyum simpul menanggapi kelakarnya sembari berucap: ”Ok Bang, siap laksanakan”. Harga pas, tancap gas.......
Benar saja, pukul 07.28 saya sudah sampai di depan gedung kantor. ”Terimakasih Bang, bener2 kayak banteng tadi Abang ngebutnya”, seloroh saya. Abang tukang ojek pun tertawa lebar, sambil berlalu dengan menyisakan kepulan asap motor bututnya.
”ID DITERIMA”, begitu pesan yang tertera di layar mesin absensi. Di sudut bawah terlihat waktu menunjukkan pukul 07.29. “Alhamdulillah”, lirih saya....
Saya terpekur sejenak. Baru kali ini saya berada di ”ujung tanduk mesin absensi”. Sebuah peralatan elektronik yang begitu penting bagi sebagian besar pegawai kantor. Namun, tergolek di dinding tembok begitu saja ketika orang2 sudah memanfaatkannya. Hmm...bukan itu titik berat renungan saya..
WAKTU... Saya heran kepada diri saya sendiri. Mengapa dalam hal absensi saya terbilang cukup rajin dan disiplin (meskipun itu karena tuntutan agar tidak terpotong absen). Seakan-akan menyesal seumur hidup ketika terlambat sedetik saja dari batas maksimal waktu absensi kantor. Ah, betapa lemahnya diri saya, terkalahkan oleh nafsu keserakahan terhadap waktu. Padahal sudah jelaslah bahwa waktu memang bukan milik dan kuasa manusia...
Seringkali saya merasa telah menyia-nyiakan waktu selama ini. Sudah ratusan bahkan ribuan kesempatan telah terbuang percuma hanya karena manajemen waktu yang kurang bagus. Ada pepatah mengatakan: ”Waktu itu umpama pedang, jika kamu tidak menggunakannya untuk memotong (sebagaimana fungsi pedang untuk memotong sesuatu untuk memudahkan kerja kita, maka begitulah juga dengan waktu, yang mana fungsinya untuk digunakan bagi perkara yang bermanfaat, bukan untuk disia-siakan.), maka ia akan memotongmu”.
Setelah saya renungkan, berkaitan dengan efektivitas pemanfaatan waktu, ada beberapa kesimpulan mengapa waktu sering terbuang dengan percuma:
1) Sikap malas untuk segera bertindak;
2) Menyepelekan masalah, yang pada akhirnya akan membuat kita kelabakan;
3) Kurangnya pemetaan kegiatan prioritas;
4) Sikap pesimis terhadap masa depan, skeptis terhadap jalan yang luas membentang, sehingga bersikap lemah dan hanya menunggu keajaiban menghampiri;
5) Lain-lain.
Maka, dengan manajemen waktu yang bagus, saya yakin kita akan dapat memaksimalkan segenap potensi yang ada, dalam konteks apapun. Jadi, kapan lagi kita akan memulai aktivitas-aktivitas positif yang produktif, cerdas, dan terpola?.

Duhai kawan, lihatlah jalan yang luas membentang di depanmu...
Sengaja Rabb Yang Maha Pemilik sediakan untukmu...

Kadang lurus dan mulus, tak jarang pula tajam dan berliku...

Semua sudah menjadi kehendak Nya, yang hanya bisa kita ikhtiarkan sebisanya..
Sedang sisanya kita serahkan saja dengan penuh kepasrahan dan keihklasan...

Duhai sahabat, janganlah sekali-kali merasa terlambat...
Atas segala bentuk ikhtiar dan jutaan ni’mat...
Jadikan dunia ini sebagai shirat menuju akhirat...

Harta, istri, dan anakmu...
Janganlah sampai melalaikanmu...
Menjadikanmu rintangan dan hambatan dalam menggapai kasih Rabb mu...