Selasa, 08 Januari 2013

proses untuk sebuah kejadian



PROSES

“Hadapi segala sesuatu dengan sikap sabar”.
Kalimat Pak Guru senantiasa terdengung di telinga, terpatri jauh di lubuk hati yang paling dalam. Sebuah kalimat yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah pengembaraan panjang tentang makna kehidupan. Sebuah proses yang membutuhkan kesabaran, keuletan, ketegaran, dan keikhlasan bagi setiap insan yang mengalaminya.
Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, kelas empat. Pertanyaan kulontarkan kepada seorang guru tatkala sedang mengajar pelajaran sosial. “Pak, apakah kami semua akan menjadi orang-orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan Negara Indonesia?”.
“Kalian semua mempunyai peluang yang sama untuk menjadi orang yang berkahlak mulia, yang kelak dapat memberikan sumbangsih kepada Negara Indonesia. Semua butuh proses, dan segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Jam pelajaran pada hari itu telah selesai. Tidak seperti biasanya, aku sengaja menyempatkan waktu untuk sejenak mengunjungi taman sekolah. Terik matahari pukul 11. 00 kuabaikan. Aku begitu semangat untuk melihat sekuncup bunga yang sedang merekah. Tadi pagi, kulihat bunga itu masih berbentuk kuncup. Aku penasaran apa yang terjadi siang itu.
Kulihat sekeliling. “Azka, apa yang sedang kamu kerjakan?”, rico, teman sekelasku menyapa,
“Iseng saja Rico, aku mau melihat bunga-bunga yang sedang berkembang ini”, jawabku sedikit antusias.
“Ya sudah, aku pulang dulu ya”, katanya.
“Baiklah, hati-hati di jalan”, pesanku.
“Okay, terimakasih”, balasnya.
Sudah hampir setengah jam aku termangu di depan sebuah pohon bunga mawar. Kuteliti satu per satu tangkainya. Setidaknya, tak kurang dari dua puluh bunga berwarna merah sedang berkembang indah. Sisanya, sekitar sepuluh, masih berupa kuncup.
Aku merenung, menerawang segala proses yang telah berlalu pada kejadian itu. Bagaimana bisa sebuah kuncup kecil berubah menjadi setangkai bunga yang merekah indah. Apa saja yang ia lalui, hambatan dan rintangan apa yang akan dan telah menghadang. Rentetan pertanyaanitu  mengerubuti pikiranku. Memang inilah tujuanku di taman sekolah. Mencari makna kearifan hidup atas jawaban dari Pak Guru, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
“Subhanalloh…” aku bertasbih.

------------

Udara agak panas, di dalam sebuah ruangan kecil yang pengap dan sedikit gelap. Pak Ujang, nama orang itu, masih saja bergelut dengan seonggok tanah liat. Kutatap tajam kedua tangan lincahnya, mulai dari menata tanah liat, mengaduknya, hingga menempatkannya pada sebuah alat pencetak.
Aku sengaja menyempatkan waktu ke sebuah pabrik kecil pembuatan guci dan barang pecah belah lain. Bahkan seragam putih abu-abuku pun masih belum kulepas. Ingatan itu masih saja membayangi, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Aku mendapat sebuah pelajaran berharga dari kejadian ini. Bagaimana tidak, dari seonggok tanah liat yang kotor dan mungkin bisa jadi tidak berharga bagi sebagian besar orang, setelah melalui proses yang panjang, jadilah ia sebuah guci yang cantik.
Tanah liat saja yang tidak dikaruniai akal pikiran sanggup untuk bertahan menghadapi gelombang ujian, mengapa aku tidak mampu?.
Memang, semua itu butuh kesabaran, kekuatan, keikhlasan. Toh, akan terasa indah pada waktunya, bukan?.
Aku terpekur. Diam mengoreksi diri. Kehidupanku serba berkecukupan, orang tua mampu menyediakan apa yang aku mau. Pernah suatu kali aku merajuk kepada ibuku. Penyebabnya sederhana: Ayah tidak bersedia membelikanku motor, dan ibu tidak mau untuk membujuk ayah!. Aku memang tidak berani merajuk kepada ayah, karena memang ayahku mempunyai sikap yang tegas dan keras. Maka, ibuku lah korban merajukku. Ah, aku malu.
Kuteruskan pengembaraan jiwaku, hingga sampai ke sebuah titik kulminasi. Aku lemas, jiwaku terasa lelah. Akibatnya, aku jatuh sakit. Berbagai usaha penyembuhan medis ditempuh orang tuaku, namun semuanya gagal. Aku belum pulih. Hingga dalam sebuah kondisi, antara sadar dan tidak, aku menemukan sebuah pengalaman hebat.
Saat itu, aku sedang berada di sebuah pasar tradisional. Suasananya ramai, riuh rendah oleh nada diplomasi pedagang dan pembeli. Di sela keramaian itu, aku melihat seorang anak kecil yang lumpuh kedua kakinya. Kuperhatikan wajahnya, bersinar dan memancarkan aura kelembutan hati. Ternyata, ayahnya adalah seorang pedagang buah. Ia ikut membantu melayani pembeli yang hilir mudik memenuhi kios. Tanpa sadar, aku terjatuh, kemudian menangis. Entah apa yang kutangisi saat itu, aku lupa. Hanya saja, terpancar dalam hatiku untuk segera bangkit dan berlari menuju anak itu. Semangat hidupku muncul, memancar begitu derasnya dari sanubari. Ingin kudekap ia, sebagai tanda rasa simpatiku atas semangat hidupnya. Maka, aku pun berlari, tanpa memedulikan keadaan sekelilingku. Ketika hampir saja kedua tanganku mendekapnya, tiba-tiba aku terbangun.
Kamar berukuran 5x6 meter persegi itu telah ramai. Pelan-pelan mataku terbuka. Kulihat ayah dan ibu di sisi kanan, selain tante Yuli dan om Hadi. Di sisi kiri, ada ketiga adikku beserta kakek dan nenek. Ada lagi selain mereka, namun aku kurang ingat siapa saja. “Alhamdulillah”, pekik semua orang.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhku berasa segar kembali saat itu. Ada semangat yang membuncah di dada, beriringan dengan kondisi kesehatan fisikku yang semakin membaik.
Dua hari kemudian, aku sudah keluar dari rumah sakit. Dokter menyatakan aku sehat 100%. Tinggal pemulihan saja yang harus kujalani!.
Dalam perjalanan pulang, di jok tengah mobil ayah, ibu menanyakan, “Azka, ibu kaget melihat cepatnya pemulihan kondisi kesehatanmu dua hari yang lalu”.
“Kami sempat khawatir, karena detak jantungmu sempat berdetak pelan sekali”, ibu berkata sembari mengusap kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ibu memelukku. Sekujur tubuhku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Mobil melaju dengan lambat, seirama dengan kemacetan Kota Jakarta yang masih belum bisa terpecahkan.



jejak cerita seorang anak



Ia terbangun. Sisa-sisa kejadian semalam membuat pening kepalanya. Dengan sedikit tenaga. ia coba menoleh lutut kaki kirinya. Perih, dan sesekali ia meringis pilu. Sekitarnya hanya ada dinding-dinding bata, mengitari dirinya yang hanya berbalut kain sarung dan kaos kumal putih bersemu merah tua bekas darah yang membeku.
Keadaan hening sementara, kedua matanya tampak sayu, tebal  berwarna biru, seperti bekas pukulan benda tumpul. Suara burung berkicau di pucuk dahan pohon mangga masih belum mampu menegakkan tubuhnya.
 Dahulu, pagi-pagi sekali ia bangun, mengambil air wudlu dan segera berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Bisa dihitung, bahkan sesekali hanya dirinya saja anak SD yang hampir tiap pagi datang pagi-pagi ke Masjid, sembari tergesa-gesa mengikuti langkah kaki ayah yang seorang imam sholat. Di depan halaman rumah berdiri kokoh sebatang pohon mangga. Di pucuk rantingnya seringkali ia dapati sepasang burung kutilang beserta anak-anak mereka sedang beraktivitas di atas sarang rumput sederhana.
 Sungguh bahagia keluarga kecil itu; melewati hari-hari dengan penuh keceriaan sejati, berkicau merdu nyanyian alam pagi. Mungkin, menjelang tidur malam, sejenak mereka berkumpul saling menceritakan pengalaman yang didapatkan hari itu. Tentang orang tua yang mencari makanan untuk anak-anaknya, atau kisah seru tentang pengalaman pertama sang anak diajarkan cara bagaimana terbang.
Samar-samar teringat olehnya, setiap pagi ia dan ayah pergi ke surau untuk menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Bercanda bersama teman-teman sejawat setelah mengikuti tahsin di Masjid, atau sesekali berkelahi karena masalah rebutan shaf sholat Isya’ terdepan. Walaupun akhirnya, tetap saja shaf itu milik orang-orang dewasa.
Ia mengaduh, menahan sejuta perih terkelindan menjadi satu, bercampur bersama hasrat untuk mengingat kejadian semalam. Dan ia pun kalah, tak kuasa melawan sakit yang sedari tadi menyerang. Setelah itu semuanya berubah menjadi putih... dan gelap...
Sekarang ia sendiri, terasing di antara gaduhnya geliat penghuni jagat meraih rizki dan anugerahNya. Semuanya terasa sunyi, meski ternyata seisi rumah telah mengelilingi. ”Ibu, Ayah, Mas Roni,” lirihnya.
”Sudah, istirahat saja Nak, tak usah kau berbicara dulu,” dengan meneteskan air mata Bu Mirnah menasihati.
Jarum jam menunjukkan angka 10, sementara matahari tak begitu terang bersinar, tertutup awan mendung. Hening menyapa suasana, serasa jam dinding tak begerak. Sudah lebih dari lima jam ia pingsan.
Beberapa waktu lamanya Irgi, namanya, hanya bisa menitikkan air mata ketika ibu dan ayahnya berkali-kali menasihati dan mendoakan untuk kesehatannya. Sejak peristiwa semalam, ia menyerah. Sedikit-sedikit ia ingat jalan ceritanya. Dan ia mulai merajut satu demi satu fragmennya.
Semalam, ia dan beberapa teman pergaulannya sedang mabuk, merayakan kemenangan atas balap liar malam sebelumnya. Beberapa botol minuman keras mereka tenggak, hingga membuat mereka berada di bawah kesadaran. Dengan mengendarai sepeda motor, mereka lempari rumah penduduk dengan batu dan beberapa benda keras lainnya. Sungguh, tingkah polah gerombolan pemuda tanggung itu telah meresahkan warga.
Tak rela rumahnya dirusak, warga pun menghentikan laju motor mereka, dan menghajar ramai-ramai. Seorang temannya meninggal saat dilarikan ke rumah sakit, sementara Irgi mengalami beberapa luka yang agak serius. Kalau bukan atas pertolongan Alloh melalui Mas Roni yang kebetulan sedang bersama para Jama’ah Masjid usai menghadiri sebuah pengajian dekat tempat kejadian perkara, mungkin akan lain cerita.
”Irgi,” kata Ibunya, lembut.
Irgi hanya mengerdipkan matanya yang sayu.
”Kau masih ingat kan, cerita indah ketika dirimu masih kecil,” suara Ibu parau, menggetarkan hati.
”Tentunya kau masih ingat, saat jemari mungilmu lincah menunjuk huruf-huruf Al Qur’an, nafasmu yang pendek namun penuh semangat melantunkan surat-surat yang kau sukai. Merdunya suaramu sungguh Ibu rindukan. Tak akan pernah Ibu lupakan, ketika sayup-sayup suaramu menghafal surat An Naba’ tengah malam membangunkan Ibu. Lalu dengan langkah yang Ibu atur sedemikian rupa supaya tak mengganggu konsentrasimu, kudengarkan suaramu dekat-dekat. Supaya Ibu dapat merasakan azzammu yang kuat untuk menghafal kalam Illahi,” Bu Mirnah tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
Melelehlah butiran air mata penuh cinta dan kasih sayang orang tua itu.
Dan lagi-lagi, Irgi pun hanya dapat terpaku, diam tak tahu harus berkata apa. Matanya merah, kemudian basah...
Sejujurnya, ia ingin mengucapkan kata maaf kepada kedua orangtuanya. Memeluk kedua orang yang paling berjasa dalam hidup yang telah mengenalkannya kepada Tuhan sejak kecil. Ia baru menyadari, apa yang selama ini dikerjakannya adalah jauh dari ridlo Illahi. ”Alloh,” lirihnya. ”Jauh sudah kaki ini berbelok dari jalanMu”.
Lamat-lamat ia mulai muroja’ah surat-surat dalam Al Qur’an yang telah ia hafalkan. Al Fatihah, Ar Rahman, Al Jumu’ah, An Naba’, dan surat-surat pendek lainnya. Hatinya kelu bercampur rindu. Iya, dia rindu suasana kecilnya. Ia rindu  lantunan tilawah Syaikh As Sudais, seorang Qori’ sekaligus Imam Masjid di Makkah. Ia rindu Alloh.. Tak tahan ia membendung kerinduan yang semakin lama semakin menjadi, ia tumpahkan semuanya dalam alunan dzikir dan kalimat taubat. ”Astaghfirullohaladzim”.
Bepuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kali ia ucapkan Istighfar, hingga tak lagi memperdulikan kondisi kesehatan yang semakin menurun. Sudah berkali-kali aliran air mata membasuh pipinya. Sungguh... kedamaian dan kesejukan serasa kembali hadir dalam jiwa. Kedamaian sejati, berasal dari Illahi!.
Jam dinding menunjukkan pukul 19.00. Adzan Isya’ baru saja berkumandang. Segalanya bermula dari isakan tangis kecil, yang kemudian meledak menjadi tangisan yang sungguh memilukan hati. Ibu, ayah, mas roni, dan semua yang hadir di samping Irgi seakan belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”.. ucap semuanya.
Irgi telah menghembuskan nafas terakhir, teriring sebelumnya kalimat syahadat dan wajah tersenyum yang melegakan bagi siapa saja yang memandang.
 ”Semoga Alloh melapangkan jalanMu ke arah ridlo SurgaNya, menghapus semua dosamu dan mengakhirkanmu dalam keadaan khusnul khotimah,” Mas Roni berdo’a sembari diaminkan oleh semua yang hadir.

english corner (1)



Becoming a successful person is most of people’s dream . There are many ways to become success. People consider to  invest their money to join at kind of training or meeting about how to be a successful person. But, there are still a lot of people don’t know how to manage themselves in order to get their targets. Here are several tips how to be a successful person:
1.      Find out your talent
“Right man on the right place”. This idiom seems true, related to the key of being success. For example, if you are good in mathematics, you should try to continue your study at mathematics faculty, and then you can apply for a job on many fields that has relation with calculation. You may fail and face difficulties if you work on political affairs.
Why should you dig out your talent?
Some people think that he has no talent. This paradigm is totally wrong. Every person has his own special talent. It is different each other. Never give up when you get fails for something. Try to do again, or do another thing. You never find your talent before trying many things. So, in conclusion, you should have an extraordinary effort to find it.
After discovering what you are really good in, I’m sure that later, you will enjoy whatever yo do at your working table. Now, it’s time for you to increase your ability in order to get what you have dreamed.
2.      Be an enthusiastic person
There is no any success for lazy person. People who has this type of personal character will always think that every job is like heavy burden. They just want to do something when the want to do. No job will  be finished satisfully. In other hand, someone who has good enthusiastic always has good willing in doing something.
3.      No “give up” words
Every problem has its solution. Sometimes when we don’t have any idea to solve a problem, we think that it is time to stop working. Like no solution anymore. Leave this frame of mind, sooner better!.
We can refresh our mind when the solution isn’t found yet. Keep our struggle, being optimistic that every problem will be finished.

Those are several tips in encountering problems at our daily life those may give your positive energy to face your daily activities. Have a nice day, pals!.



sesuatu bermula dari sini (2)



Kami berjalan mengendap-endap memasuki surau. Keadaan gelap dan hangat. Beberapa orang masih terlelap dalam mimpi. Suara hewan malam masih saja merambat lambat. Masing-masing dari kami mencari tempat yang kosong untuk merebahkan diri. Ku sempatkan untuk menghitung satu per satu  personil. ”Lengkap”, batinku lega. Samar-samar kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.20. Tanpa komando, langsung saja kami berusaha menutup mata. Perasaan bercampur aduk, antara puas, bahagia, dan penyesalan. Beberapa menit kucoba untuk tidur, namun gagal. Kutunggu sampai hampir setengah jam, akhirnya kantuk pun menyapa. Kusempatkan untuk menyebarkan pandangan, sebagian sudah terlelap. Tampak jelas ivan sedang gelisah, sorot lampu teras menyelinap lewat ruas-ruas jendela kayu menerpa tubuhnya. Sekali-kali ia mainkan jemarinya, ia satukan yang kanan dan kiri membentuk lingkaran, lalu segitiga, kemudian bentuk hati, lantas....keadaan gelap, aku tertidur pulas.
Kawan, kugambarkan sedikit tentang kampungku. Namanya Sukolilo, berada di ujung timur Kecamatan Tuban. Ada tujuh jalan kecil di sana, kami sebut dengan ”gang” (bukan gangster lho). Untuk memudahkan mendapatkan alamat, biasanya kami menyertakan gang pada isian alamat rumah kami. Lebih mudah memang, dibandingkan dengan pencarian melalui nomor RT atau RW. Oleh karena itulah, kami ”terprimordialkan” oleh gang-gang ini. Terkhusus bagi kami, bocah-bocah ingusan. Darah kami akan cepat mendidih ketika ada salah satu dari teman sesama gang kami yang diganggu oleh anak-anak gang lain. Bisa-bisa kami tawur mereka!. Untuk masalah kecil saja, kami sering beradu mulut. Yang paling seru ketika ada turnamen ”jago kapuk”, alias turnamen sepak bola se kelurahan. Tak jarang ada perkelahian, lagi-lagi dipicu oleh ”senggolan” dengan pemuda lain gang.  Ah, itu tak kalah seru dengan kisah kami di bawah ini, kawan...
Suatu pagi yang cukup dingin di bulan Ramadlan, kami memulai tongklekan. Rute kami dimulai dari surau Asy Syukron, kemudian ke arah gang tujuh. Kalau tidak salah, waktu itu kami sekitar kurang lebih sepuluh orang. Mas Faris sebagai dirigen nya, mengatur sedemikian rupa susunan perangkat penabuh alat beserta susunan barisnya. Untuk masalah ini, dia perfeksionis. Tak segan ia akan memarahi kami jika ada yang melanggar aturan darinya. Kami menurut saja, toh dia paling senior. Jadi, bila ada yang macam-macam, setidaknya dia yang maju duluan.
Beberapa meter sudah di ujung gang 6. Artinya, kami akan menyusuri jalur pantura jawa timur. Ya, kota kami memang dilalui oleh jalur pantura, hasil keringat pahlawan kita yang dipaksa oleh penjajah Belanda. Daendels, begitulah sebagian orang menamai jalan ini, menyebut seorang pejabat Belanda waktu itu yang memimpin pembuatan jalan dari Anyer-Panarukan ini.
”Tok tek tok tek dung dung dung”... Suara serempak pemecah keheningan (kalo tidak sopan untuk dikatakan sebagai pemekak telinga). Semangat kami membara, seiring dengan terdengarnya sayup-sayup suara tongklekan dari grup-grup lainnya. Pagi itu damai, tak ada bentrokan antara kami dan mereka.
Seringkali kami menyalakan petasan untuk meramaikan suasana. Namun, pagi itu kami kebetulan tidak menyalakan satu petasan pun. Perjalanan dilanjutkan...
Sesampainya di depan gang tujuh, seseorang dari belakang berteriak lantang, memanggil-manggil kami, sambil berlarian kecil. Rupanya Pak Malik (bukan nama sebenarnya), pemilik pabrik kopi di kelurahan kami. Kami berhenti. Langsung saja dengan nada marah beliau membentak, ”Siapa tadi yang menyalakan petasan di samping rumah saya?”
 Kami memandang satu sama lain. Ku jelaskan kepada beliau bahwa tak ada satu pun dari kami yang menyalakan petasan.
 ”Kalian nggak tahu, ibu saya sedang sakit keras. Tadi suara petasan mengagetkannya, dan kami sangat terganggu dengan ulah kalian. Kalau mau tongklekan ya tongklekan saja, nggak usah menyalakan petasan. Awas ya, kalo ada apa-apa, akan saya laporkan kalian ke polisi,” katanya.
 Sungguh, waktu itu darahku berdesir, takut. Membayangkan bagaimana seandainya benar-benar terjadi. Penjara? Polisi?. Dua kata yang membuat bulu kuduk berdiri. ”Bagaimana nanti kalau dipenjara? Bagaimana perasaan kedua orang tua? Bagaimana perlakuan kepada kami di sana? Lantas, apakah bisa meneruskan sekolah setelah keluar dari penjara?” pertanyaan itu menghantui diriku.
 Apalagi, adikku satu-satunya ikut bersama rombongan kami. Bukankah sebelum berangkat tongklekan tadi, ia kupaksa untuk ikut?. Aku merasa bersalah pada diriku sendiri.  Mungkin, pertanyaan serupa bergelayut di benak teman-teman lainnya.
Satu hal yang kusesalkan adalah ketika beberapa temanku memilih kabur, melarikan diri. Sementara sisanya sekitar lima orang, termasuk aku dan adikku, masih saja mendapati ceramah menakutkan dari Pak Malik. Kami hanya tertunduk lesu, tak berani memandang ke arah mukanya.
 Sudah panjang lebar kami sampaikan kepada Pak Malik bahwa kami tidak menyalakan satu petasan pun. Tapi, rupanya Pak Malik bersikukuh pada keyakinannya, bahwa tidak ada rombongan tongklekan kecuali kami yang melewati samping rumahnya saat itu. Hawa dingin pagi itu menusuk tulang, terlebih lagi adrenalin kami terpacu hebat. Sarung yang kuselempangkan ke bahu segera kuselimutkan ke badan. Syukurlah, beberapa waktu kemudian, Pak Malik melepaskan kami sembari berucap, ”Awas ya kalau sampai terjadi apa-apa, kulaporkan ke Polisi Kalian”.
 Kami lemas, tak bergairah....
Beberapa langkah kami ayunkan untuk kembali ke surau. Dari arah belakang, beberapa senior kami tersenyum dan ada yang tertawa, berjalan mendekati kami. Salah satu dari mereka menanyakan apa yang telah terjadi. Pertanyaan retorika, karena sedari tadi kulihat mereka sudah mengetahui apa yang terjadi. Dengan nada sindiran mereka berkata panjang lebar, berusaha untuk memojokkan kami. Kami tak berani melawan. Kami diam, sesekali memberikan sedikit argumen pembelaan, bahwa kami tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Pak Malik.
Mas Ari, salah satu dari mereka berucap, ”Makanya jangan menyalakan petasan di dekat rumah orang, begini kan jadinya”.
Mukanya waktu itu menahan senyum kemenangan, terpancar dari raut kulit sekitar mata dan bibirnya. Ingin rasanya kuhantam muka itu, seandainya kami berdua sepadan. Oiya, Mas Ari adalah kakak kandung ivan (masih ingat kan dengan ivan?). Kebetulan waktu itu dia tidak ikut bersama rombongan. Tingkah senior yang terus menerus mencibir kami menimbulkan perasaan curiga. Bagaimana bisa mereka mengetahui secara persis kejadian dari awal sampai akhir?. Ini jawabnya...
Teguh, salah satu temanku, memberanikan diri untuk berkata, ”Jangan-jangan sampeyan Mas yang menyalakan petasan?. Kok tahu persis apa yang telah terjadi?”
Mas Ari melirik beberapa temannya, lalu tertawa. ”Mana mungkin, emangnya kalian tadi melihat aku menyalakan petasan di samping rumah pak malik?”
 Teguh menambahkan, ”Tadi kulihat Mas Ari sekilas di belakang kami ketika melintas di samping rumah Pak Malik”.
 ”Hahaha,” Mas Ari tertawa, lalu meninggalkan kami bersama teman-temannya yang lain.
Kami pun terdiam, lalu berjalan menuju surau. Sesampainya di surau, kami rebahkan diri sebentar, lalu kembali ke rumah masing-masing dengan membawa sejuta rasa kalut, takut, dan cemas. Esok harinya kami lalui dengan perasaan was-was, khawatir kalau pak malik datang membawa beberapa polisi beserta mobilnya untuk mambawa kami ke penjara. Oh...betapa menyesalnya kami seandainya itu menjadi kenyataan.
Beberapa hari kemudian, baru kami dengar kabar bahwa memang Mas Ari dan rombongan lah pelaku semuanya. Namun apapun itu, kami sangat bersyukur, karena pak malik tidak pernah lagi mempermasalahkan apa yang telah terjadi antara kami dengannya..
Sungguh, pagi yang menegangkan....