PROSES
“Hadapi segala sesuatu dengan sikap sabar”.
Kalimat
Pak Guru senantiasa terdengung di telinga, terpatri jauh di lubuk hati yang
paling dalam. Sebuah kalimat yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah pengembaraan
panjang tentang makna kehidupan. Sebuah proses yang membutuhkan kesabaran,
keuletan, ketegaran, dan keikhlasan bagi setiap insan yang mengalaminya.
Ketika
itu aku masih duduk di bangku SD, kelas empat. Pertanyaan kulontarkan kepada
seorang guru tatkala sedang mengajar pelajaran sosial. “Pak, apakah kami semua
akan menjadi orang-orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan Negara
Indonesia?”.
“Kalian
semua mempunyai peluang yang sama untuk menjadi orang yang berkahlak mulia,
yang kelak dapat memberikan sumbangsih kepada Negara Indonesia. Semua butuh
proses, dan segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Jam
pelajaran pada hari itu telah selesai. Tidak seperti biasanya, aku sengaja
menyempatkan waktu untuk sejenak mengunjungi taman sekolah. Terik matahari
pukul 11. 00 kuabaikan. Aku begitu semangat untuk melihat sekuncup bunga yang
sedang merekah. Tadi pagi, kulihat bunga itu masih berbentuk kuncup. Aku
penasaran apa yang terjadi siang itu.
Kulihat
sekeliling. “Azka, apa yang sedang kamu kerjakan?”, rico, teman sekelasku
menyapa,
“Iseng
saja Rico, aku mau melihat bunga-bunga yang sedang berkembang ini”, jawabku
sedikit antusias.
“Ya
sudah, aku pulang dulu ya”, katanya.
“Baiklah,
hati-hati di jalan”, pesanku.
“Okay,
terimakasih”, balasnya.
Sudah
hampir setengah jam aku termangu di depan sebuah pohon bunga mawar. Kuteliti
satu per satu tangkainya. Setidaknya, tak kurang dari dua puluh bunga berwarna
merah sedang berkembang indah. Sisanya, sekitar sepuluh, masih berupa kuncup.
Aku
merenung, menerawang segala proses yang telah berlalu pada kejadian itu.
Bagaimana bisa sebuah kuncup kecil berubah menjadi setangkai bunga yang merekah
indah. Apa saja yang ia lalui, hambatan dan rintangan apa yang akan dan telah
menghadang. Rentetan pertanyaanitu mengerubuti
pikiranku. Memang inilah tujuanku di taman sekolah. Mencari makna kearifan hidup
atas jawaban dari Pak Guru, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
“Subhanalloh…”
aku bertasbih.
------------
Udara
agak panas, di dalam sebuah ruangan kecil yang pengap dan sedikit gelap. Pak
Ujang, nama orang itu, masih saja bergelut dengan seonggok tanah liat. Kutatap
tajam kedua tangan lincahnya, mulai dari menata tanah liat, mengaduknya, hingga
menempatkannya pada sebuah alat pencetak.
Aku
sengaja menyempatkan waktu ke sebuah pabrik kecil pembuatan guci dan barang
pecah belah lain. Bahkan seragam putih abu-abuku pun masih belum kulepas. Ingatan
itu masih saja membayangi, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Aku
mendapat sebuah pelajaran berharga dari kejadian ini. Bagaimana tidak, dari
seonggok tanah liat yang kotor dan mungkin bisa jadi tidak berharga bagi
sebagian besar orang, setelah melalui proses yang panjang, jadilah ia sebuah
guci yang cantik.
Tanah
liat saja yang tidak dikaruniai akal pikiran sanggup untuk bertahan menghadapi
gelombang ujian, mengapa aku tidak mampu?.
Memang,
semua itu butuh kesabaran, kekuatan, keikhlasan. Toh, akan terasa indah pada
waktunya, bukan?.
Aku
terpekur. Diam mengoreksi diri. Kehidupanku serba berkecukupan, orang tua mampu
menyediakan apa yang aku mau. Pernah suatu kali aku merajuk kepada ibuku. Penyebabnya
sederhana: Ayah tidak bersedia membelikanku motor, dan ibu tidak mau untuk
membujuk ayah!. Aku memang tidak berani merajuk kepada ayah, karena memang ayahku
mempunyai sikap yang tegas dan keras. Maka, ibuku lah korban merajukku. Ah, aku
malu.
Kuteruskan
pengembaraan jiwaku, hingga sampai ke sebuah titik kulminasi. Aku lemas, jiwaku
terasa lelah. Akibatnya, aku jatuh sakit. Berbagai usaha penyembuhan medis ditempuh
orang tuaku, namun semuanya gagal. Aku belum pulih. Hingga dalam sebuah kondisi,
antara sadar dan tidak, aku menemukan sebuah pengalaman hebat.
Saat
itu, aku sedang berada di sebuah pasar tradisional. Suasananya ramai, riuh
rendah oleh nada diplomasi pedagang dan pembeli. Di sela keramaian itu, aku
melihat seorang anak kecil yang lumpuh kedua kakinya. Kuperhatikan wajahnya,
bersinar dan memancarkan aura kelembutan hati. Ternyata, ayahnya adalah seorang
pedagang buah. Ia ikut membantu melayani pembeli yang hilir mudik memenuhi
kios. Tanpa sadar, aku terjatuh, kemudian menangis. Entah apa yang kutangisi
saat itu, aku lupa. Hanya saja, terpancar dalam hatiku untuk segera bangkit dan
berlari menuju anak itu. Semangat hidupku muncul, memancar begitu derasnya dari
sanubari. Ingin kudekap ia, sebagai tanda rasa simpatiku atas semangat
hidupnya. Maka, aku pun berlari, tanpa memedulikan keadaan sekelilingku. Ketika
hampir saja kedua tanganku mendekapnya, tiba-tiba aku terbangun.
Kamar
berukuran 5x6 meter persegi itu telah ramai. Pelan-pelan mataku terbuka.
Kulihat ayah dan ibu di sisi kanan, selain tante Yuli dan om Hadi. Di sisi
kiri, ada ketiga adikku beserta kakek dan nenek. Ada lagi selain mereka, namun
aku kurang ingat siapa saja. “Alhamdulillah”, pekik semua orang.
Aku
masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhku berasa segar kembali saat itu.
Ada semangat yang membuncah di dada, beriringan dengan kondisi kesehatan
fisikku yang semakin membaik.
Dua
hari kemudian, aku sudah keluar dari rumah sakit. Dokter menyatakan aku sehat
100%. Tinggal pemulihan saja yang harus kujalani!.
Dalam
perjalanan pulang, di jok tengah mobil ayah, ibu menanyakan, “Azka, ibu kaget
melihat cepatnya pemulihan kondisi kesehatanmu dua hari yang lalu”.
“Kami
sempat khawatir, karena detak jantungmu sempat berdetak pelan sekali”, ibu
berkata sembari mengusap kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ibu
memelukku. Sekujur tubuhku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Mobil melaju
dengan lambat, seirama dengan kemacetan Kota Jakarta yang masih belum bisa terpecahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar