Selasa, 08 Januari 2013

proses untuk sebuah kejadian



PROSES

“Hadapi segala sesuatu dengan sikap sabar”.
Kalimat Pak Guru senantiasa terdengung di telinga, terpatri jauh di lubuk hati yang paling dalam. Sebuah kalimat yang pada akhirnya mengantarkanku pada sebuah pengembaraan panjang tentang makna kehidupan. Sebuah proses yang membutuhkan kesabaran, keuletan, ketegaran, dan keikhlasan bagi setiap insan yang mengalaminya.
Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, kelas empat. Pertanyaan kulontarkan kepada seorang guru tatkala sedang mengajar pelajaran sosial. “Pak, apakah kami semua akan menjadi orang-orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan Negara Indonesia?”.
“Kalian semua mempunyai peluang yang sama untuk menjadi orang yang berkahlak mulia, yang kelak dapat memberikan sumbangsih kepada Negara Indonesia. Semua butuh proses, dan segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Jam pelajaran pada hari itu telah selesai. Tidak seperti biasanya, aku sengaja menyempatkan waktu untuk sejenak mengunjungi taman sekolah. Terik matahari pukul 11. 00 kuabaikan. Aku begitu semangat untuk melihat sekuncup bunga yang sedang merekah. Tadi pagi, kulihat bunga itu masih berbentuk kuncup. Aku penasaran apa yang terjadi siang itu.
Kulihat sekeliling. “Azka, apa yang sedang kamu kerjakan?”, rico, teman sekelasku menyapa,
“Iseng saja Rico, aku mau melihat bunga-bunga yang sedang berkembang ini”, jawabku sedikit antusias.
“Ya sudah, aku pulang dulu ya”, katanya.
“Baiklah, hati-hati di jalan”, pesanku.
“Okay, terimakasih”, balasnya.
Sudah hampir setengah jam aku termangu di depan sebuah pohon bunga mawar. Kuteliti satu per satu tangkainya. Setidaknya, tak kurang dari dua puluh bunga berwarna merah sedang berkembang indah. Sisanya, sekitar sepuluh, masih berupa kuncup.
Aku merenung, menerawang segala proses yang telah berlalu pada kejadian itu. Bagaimana bisa sebuah kuncup kecil berubah menjadi setangkai bunga yang merekah indah. Apa saja yang ia lalui, hambatan dan rintangan apa yang akan dan telah menghadang. Rentetan pertanyaanitu  mengerubuti pikiranku. Memang inilah tujuanku di taman sekolah. Mencari makna kearifan hidup atas jawaban dari Pak Guru, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
“Subhanalloh…” aku bertasbih.

------------

Udara agak panas, di dalam sebuah ruangan kecil yang pengap dan sedikit gelap. Pak Ujang, nama orang itu, masih saja bergelut dengan seonggok tanah liat. Kutatap tajam kedua tangan lincahnya, mulai dari menata tanah liat, mengaduknya, hingga menempatkannya pada sebuah alat pencetak.
Aku sengaja menyempatkan waktu ke sebuah pabrik kecil pembuatan guci dan barang pecah belah lain. Bahkan seragam putih abu-abuku pun masih belum kulepas. Ingatan itu masih saja membayangi, “Segalanya akan terasa indah pada waktunya”.
Aku mendapat sebuah pelajaran berharga dari kejadian ini. Bagaimana tidak, dari seonggok tanah liat yang kotor dan mungkin bisa jadi tidak berharga bagi sebagian besar orang, setelah melalui proses yang panjang, jadilah ia sebuah guci yang cantik.
Tanah liat saja yang tidak dikaruniai akal pikiran sanggup untuk bertahan menghadapi gelombang ujian, mengapa aku tidak mampu?.
Memang, semua itu butuh kesabaran, kekuatan, keikhlasan. Toh, akan terasa indah pada waktunya, bukan?.
Aku terpekur. Diam mengoreksi diri. Kehidupanku serba berkecukupan, orang tua mampu menyediakan apa yang aku mau. Pernah suatu kali aku merajuk kepada ibuku. Penyebabnya sederhana: Ayah tidak bersedia membelikanku motor, dan ibu tidak mau untuk membujuk ayah!. Aku memang tidak berani merajuk kepada ayah, karena memang ayahku mempunyai sikap yang tegas dan keras. Maka, ibuku lah korban merajukku. Ah, aku malu.
Kuteruskan pengembaraan jiwaku, hingga sampai ke sebuah titik kulminasi. Aku lemas, jiwaku terasa lelah. Akibatnya, aku jatuh sakit. Berbagai usaha penyembuhan medis ditempuh orang tuaku, namun semuanya gagal. Aku belum pulih. Hingga dalam sebuah kondisi, antara sadar dan tidak, aku menemukan sebuah pengalaman hebat.
Saat itu, aku sedang berada di sebuah pasar tradisional. Suasananya ramai, riuh rendah oleh nada diplomasi pedagang dan pembeli. Di sela keramaian itu, aku melihat seorang anak kecil yang lumpuh kedua kakinya. Kuperhatikan wajahnya, bersinar dan memancarkan aura kelembutan hati. Ternyata, ayahnya adalah seorang pedagang buah. Ia ikut membantu melayani pembeli yang hilir mudik memenuhi kios. Tanpa sadar, aku terjatuh, kemudian menangis. Entah apa yang kutangisi saat itu, aku lupa. Hanya saja, terpancar dalam hatiku untuk segera bangkit dan berlari menuju anak itu. Semangat hidupku muncul, memancar begitu derasnya dari sanubari. Ingin kudekap ia, sebagai tanda rasa simpatiku atas semangat hidupnya. Maka, aku pun berlari, tanpa memedulikan keadaan sekelilingku. Ketika hampir saja kedua tanganku mendekapnya, tiba-tiba aku terbangun.
Kamar berukuran 5x6 meter persegi itu telah ramai. Pelan-pelan mataku terbuka. Kulihat ayah dan ibu di sisi kanan, selain tante Yuli dan om Hadi. Di sisi kiri, ada ketiga adikku beserta kakek dan nenek. Ada lagi selain mereka, namun aku kurang ingat siapa saja. “Alhamdulillah”, pekik semua orang.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhku berasa segar kembali saat itu. Ada semangat yang membuncah di dada, beriringan dengan kondisi kesehatan fisikku yang semakin membaik.
Dua hari kemudian, aku sudah keluar dari rumah sakit. Dokter menyatakan aku sehat 100%. Tinggal pemulihan saja yang harus kujalani!.
Dalam perjalanan pulang, di jok tengah mobil ayah, ibu menanyakan, “Azka, ibu kaget melihat cepatnya pemulihan kondisi kesehatanmu dua hari yang lalu”.
“Kami sempat khawatir, karena detak jantungmu sempat berdetak pelan sekali”, ibu berkata sembari mengusap kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ibu memelukku. Sekujur tubuhku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Mobil melaju dengan lambat, seirama dengan kemacetan Kota Jakarta yang masih belum bisa terpecahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar