Ia terbangun. Sisa-sisa kejadian semalam membuat pening kepalanya. Dengan
sedikit tenaga. ia coba menoleh lutut kaki kirinya. Perih, dan sesekali ia
meringis pilu. Sekitarnya hanya ada dinding-dinding bata, mengitari dirinya
yang hanya berbalut kain sarung dan kaos kumal putih bersemu merah tua bekas
darah yang membeku.
Keadaan hening sementara, kedua matanya
tampak sayu, tebal berwarna biru, seperti
bekas pukulan benda tumpul. Suara burung berkicau di pucuk dahan pohon mangga
masih belum mampu menegakkan tubuhnya.
Dahulu,
pagi-pagi sekali ia bangun, mengambil air wudlu dan segera berangkat ke masjid
untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Bisa dihitung, bahkan sesekali hanya
dirinya saja anak SD yang hampir tiap pagi datang pagi-pagi ke Masjid, sembari tergesa-gesa
mengikuti langkah kaki ayah yang seorang imam sholat. Di depan halaman rumah
berdiri kokoh sebatang pohon mangga. Di pucuk rantingnya seringkali ia dapati
sepasang burung kutilang beserta anak-anak mereka sedang beraktivitas di atas
sarang rumput sederhana.
Sungguh
bahagia keluarga kecil itu; melewati hari-hari dengan penuh keceriaan sejati, berkicau
merdu nyanyian alam pagi. Mungkin, menjelang tidur malam, sejenak mereka
berkumpul saling menceritakan pengalaman yang didapatkan hari itu. Tentang
orang tua yang mencari makanan untuk anak-anaknya, atau kisah seru tentang
pengalaman pertama sang anak diajarkan cara bagaimana terbang.
Samar-samar teringat olehnya, setiap
pagi ia dan ayah pergi ke surau untuk menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Bercanda bersama teman-teman sejawat setelah mengikuti
tahsin di Masjid, atau sesekali berkelahi karena masalah rebutan shaf sholat
Isya’ terdepan. Walaupun akhirnya, tetap saja shaf itu milik orang-orang dewasa.
Ia
mengaduh, menahan sejuta perih terkelindan menjadi satu, bercampur bersama
hasrat untuk mengingat kejadian semalam. Dan ia pun kalah, tak kuasa melawan
sakit yang sedari tadi menyerang. Setelah itu semuanya berubah menjadi putih...
dan gelap...
Sekarang
ia sendiri, terasing di antara gaduhnya geliat penghuni jagat meraih rizki dan
anugerahNya. Semuanya terasa sunyi, meski ternyata seisi rumah telah
mengelilingi. ”Ibu, Ayah, Mas Roni,” lirihnya.
”Sudah,
istirahat saja Nak, tak usah kau berbicara dulu,” dengan meneteskan air mata Bu
Mirnah menasihati.
Jarum
jam menunjukkan angka 10, sementara matahari tak begitu terang bersinar,
tertutup awan mendung. Hening menyapa suasana, serasa jam dinding tak begerak.
Sudah lebih dari lima jam ia pingsan.
Beberapa
waktu lamanya Irgi, namanya, hanya bisa menitikkan air mata ketika ibu dan
ayahnya berkali-kali menasihati dan mendoakan untuk kesehatannya. Sejak
peristiwa semalam, ia menyerah. Sedikit-sedikit ia ingat jalan ceritanya. Dan
ia mulai merajut satu demi satu fragmennya.
Semalam,
ia dan beberapa teman pergaulannya sedang mabuk, merayakan kemenangan atas
balap liar malam sebelumnya. Beberapa botol minuman keras mereka tenggak,
hingga membuat mereka berada di bawah kesadaran. Dengan mengendarai sepeda
motor, mereka lempari rumah penduduk dengan batu dan beberapa benda keras
lainnya. Sungguh, tingkah polah gerombolan pemuda tanggung itu telah meresahkan
warga.
Tak
rela rumahnya dirusak, warga pun menghentikan laju motor mereka, dan menghajar
ramai-ramai. Seorang temannya meninggal saat dilarikan ke rumah sakit,
sementara Irgi mengalami beberapa luka yang agak serius. Kalau bukan atas
pertolongan Alloh melalui Mas Roni yang kebetulan sedang bersama para Jama’ah
Masjid usai menghadiri sebuah pengajian dekat tempat kejadian perkara, mungkin
akan lain cerita.
”Irgi,”
kata Ibunya, lembut.
Irgi
hanya mengerdipkan matanya yang sayu.
”Kau
masih ingat kan, cerita indah ketika dirimu masih kecil,” suara Ibu parau,
menggetarkan hati.
”Tentunya
kau masih ingat, saat jemari mungilmu lincah menunjuk huruf-huruf Al Qur’an, nafasmu
yang pendek namun penuh semangat melantunkan surat-surat yang kau sukai.
Merdunya suaramu sungguh Ibu rindukan. Tak akan pernah Ibu lupakan, ketika
sayup-sayup suaramu menghafal surat An Naba’ tengah malam membangunkan Ibu.
Lalu dengan langkah yang Ibu atur sedemikian rupa supaya tak mengganggu
konsentrasimu, kudengarkan suaramu dekat-dekat. Supaya Ibu dapat merasakan
azzammu yang kuat untuk menghafal kalam Illahi,” Bu Mirnah tak kuasa melanjutkan
kata-katanya.
Melelehlah
butiran air mata penuh cinta dan kasih sayang orang tua itu.
Dan
lagi-lagi, Irgi pun hanya dapat terpaku, diam tak tahu harus berkata apa.
Matanya merah, kemudian basah...
Sejujurnya,
ia ingin mengucapkan kata maaf kepada kedua orangtuanya. Memeluk kedua orang yang
paling berjasa dalam hidup yang telah mengenalkannya kepada Tuhan sejak kecil. Ia
baru menyadari, apa yang selama ini dikerjakannya adalah jauh dari ridlo
Illahi. ”Alloh,” lirihnya. ”Jauh sudah kaki ini berbelok dari jalanMu”.
Lamat-lamat
ia mulai muroja’ah surat-surat dalam Al Qur’an yang telah ia hafalkan. Al
Fatihah, Ar Rahman, Al Jumu’ah, An Naba’, dan surat-surat pendek lainnya.
Hatinya kelu bercampur rindu. Iya, dia rindu suasana kecilnya. Ia rindu lantunan tilawah Syaikh As Sudais, seorang
Qori’ sekaligus Imam Masjid di Makkah. Ia rindu Alloh.. Tak tahan ia membendung
kerinduan yang semakin lama semakin menjadi, ia tumpahkan semuanya dalam alunan
dzikir dan kalimat taubat. ”Astaghfirullohaladzim”.
Bepuluh-puluh,
bahkan beratus-ratus kali ia ucapkan Istighfar, hingga tak lagi memperdulikan
kondisi kesehatan yang semakin menurun. Sudah berkali-kali aliran air mata
membasuh pipinya. Sungguh... kedamaian dan kesejukan serasa kembali hadir dalam
jiwa. Kedamaian sejati, berasal dari Illahi!.
Jam
dinding menunjukkan pukul 19.00. Adzan Isya’ baru saja berkumandang. Segalanya
bermula dari isakan tangis kecil, yang kemudian meledak menjadi tangisan yang
sungguh memilukan hati. Ibu, ayah, mas roni, dan semua yang hadir di samping Irgi
seakan belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa inna
ilaihi roji’un”.. ucap semuanya.
Irgi
telah menghembuskan nafas terakhir, teriring sebelumnya kalimat syahadat dan wajah
tersenyum yang melegakan bagi siapa saja yang memandang.
”Semoga Alloh melapangkan jalanMu ke arah ridlo
SurgaNya, menghapus semua dosamu dan mengakhirkanmu dalam keadaan khusnul
khotimah,” Mas Roni berdo’a sembari diaminkan oleh semua yang hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar