![]() |
PROLOG:
Kejadian beberapa hari lalu
menyisakan sebuah kegundahan dalam hatiku. Sebuah perjumpaan dengan seorang
wanita yang kutemui di kampusku telah berhasil membuat jantungku berdetak lebih
cepat. Aku tak tahu siapakah gerangan dirinya, dan memang pada saat itu aku pun
tak begitu peduli tentang itu.
Setibanya di rumah, tiba-tiba
bayangan sosoknya muncul seolah-olah tepat berada di ujung kelopak mataku. Aku
tak dapat mengingat dengan tepat raut wajahnya. Hanya warna kain lebar penutup
tubuhnya saja yang kuingat: kemuning jingga.
-----
Di sela renungan sore di tepian
pantai Pasir Jambak, dengan iringan suara ombak kecil dan gurauan burung camar
yang sedang menari di bentangan cakrawala senja, tiba-tiba datang sesosok yang
menggunakan pakaian berwarna-warni -tak kuketahui apa saja perpaduan warnanya-
sontak mengagetkanku ketika sapanya berdesir pelan menyentuhku, “Hai, apa
yang kau kerjakan di sini?”
“Tidak ada, hanya
melihat gelombang ombak di antara menguningnya langit sore,” jawabku.
“Hmm... bolehkah
aku duduk di sampingmu, untuk sekedar bercakap-cakap menghabiskan waktu sebelum
adzan Maghrib berkumandang?” tanyanya.
“Silakan,” kataku singkat dengan sikap acuh.
“Perkenalkan, namaku Manah. Siapa namamu?”
“Orang memanggilku Ilham, atau Zulham
kadangkala”
“Baik, kupanggil kau dengan nama Zulham, aku
lebih suka itu.”
“Iya, terserah kau saja,” jawabku seadanya.
Angin darat mulai berhembus pelan, menyapa butiran pasir
yang tampak berkilau anggun terpantul hangatnya sinar matahari sore.
“Kulihat, kau
sedang murung dari tadi. Apa yang membuatmu tak tampak seperti biasa, kalau
boleh aku tahu?” lanjutnya dengan nada
sedikit rendah.
”Ah, tidak ada apa-apa,
hanya mukaku yang tampak lesu karena kurang tidur semalam.”
”Saudaraku, janganlah
kau simpan sendiri kegundahan di hatimu, tak baik itu,” katanya sok bijak
menceramahiku.
”Amboi, apa yang kau
tahu tentang hatiku? Asal kau tahu saja, tidak ada yang mengetahui isi hati
manusia kecuali Yang Maha Menciptakan!” nada suaraku tampak meninggi.
Aku kesal dengan
kalimatnya yang seperti memancingku untuk mengatakan isi hatiku. Tapi, apa
untungnya? Toh, aku baru mengenalnya hari ini, tak lebih dari lima menit yang
lalu ketika tangannya menyapa pundakku. Tapi, itu bukan berarti bahwa dengan
serta merta aku lantas mempercayainya, mengeluarkan semua apa yang sedang kupikirkan.
Iya, setidaknya untuk saat ini aku hanya ingin hatiku saja yang tahu apa yang
sedang kurasakan.
”Coba kau lihat
cakrawala di depanmu, Kawan. Keindahannya tak mudah untuk dilukiskan. Paduan
warna antara kemuningnya senja langit sore dan birunya air laut, serempak
membiaskan keceriaan kumpulan burung camar itu. Bukankah di hatimu juga
mengatakan hal yang sama tentang semua ini? Betul kan? Atau kau coba untuk
menipu dirimu sendiri dengan mengacuhkan fenomena indah ciptaan Illahi ini?”
katanya bagaikan serbuan peluru senjata tembak MP4 CARBINE.
Dalam hati, aku
mengakui keunggulannya dalam membaca pikiranku. Tapi, darimana dia bisa? Ah,
mungkin hanya siasatnya saja, supaya aku buka suara. Aku diam beberapa detik,
menunggu saat yang tepat untuk memberikan sebuah jawaban.
”Bisa jadi
perkataanmu benar, bisa jadi salah,” jawabku memecah keheningan.
Kesunyian menyeka
jarak antara aku dan dia beberapa saat lamanya.
Sementara itu, sekumpulan
ikan kecil tampak sedang menikmati sore, berlomba mengitari sebuah batu karang
yang terletak di tengah lingkaran kecil kolam laut yang dikelilingi batu-batu
karang laksana perbukitan. Tampak juga beberapa udang kecil bermalasan,
sesekali menyibakkan ekornya untuk sekedar melakukan pemanasan sebelum sang
surya menyelinap, terganti hangatnya air dengan kepekatan malam yang menusuk
tulang.
”Bukannya
bermaksud untuk mengguruimu Kawan, tapi ini hanya pengalamanku saja. Kalau kau
mau, dengarkan dan cermati. Kalau tidak, sampai bertemu di lain waktu. Semoga
kita dapat berjumpa lagi,” kali ini suaranya tegas namun tetap lembut.
”Hei, tunggu. Kau
yang membuka tema, jangan akhiri wacana,” sergahku seraya sedikit meminta.
Akhirnya ia menurut,
posisi duduknya masih tetap bersandar di batang sebuah pohon waru yang mulai
menua. Dedaunannya pun satu per satu mulai tanggal, menyisakan beberapa tangkai
bunga berwarna merah berbalut hitam dengan kelopaknya yang tengah mengering. Sementara
itu, suara canda tawa anak-anak bermain bola di hamparan pasir tengah laut mengubah arah dudukku, agar terlihat apa yang
sedang mereka lakukan dengan tubuh-tubuh kecilnya. Kini, posisiku
membelakanginya.
”Apa yang ingin kau
katakan?” sekarang aku yang mulai penasaran.
”Kukira aku tak
lebih paham darimu, maka aku tak jadi menceritakannya padamu”, katanya.
Sontak darahku pun naik. Namun tak ada energi untuk
meladeninya. Hanya diam yang kulakukan.
”Kau pandai
memainkan emosiku,” kuusahakan intonasi kata-kataku setenang mungkin.
”Rambutmu
terlihat cukup kasar dan panjang, tak beraturan,” tiba-tiba ia memulai
percakapan dengan gaya bahasanya yang agak menyindir.
”Jangan marah
dulu, aku hanya mengatakan sejujurnya. Bukankah kau juga tahu, kejujuran adalah
hal utama bagi penilaian kualitas manusia?” ucapnya buru-buru dibarengi dengan
tawanya yang terkekeh-kekeh, mendahului niatku untuk segera meresponnya.
Senja semakin
beranjak menuju peraduan, sementara sekawanan burung camar terlihat semakin
menjauh dari pandangan, hingga hanya membentuk kerangka garis berbentuk anak
panah yang lama-kelamaan berubah menjadi titik, akhirnya menghilang. Hanya
desiran suara ombak kecil yang tertinggal, menyapu butiran pasir pantai teriring
angin darat yang mulai berhembus lepas.
Beberapa helai
daun waru kering masih terus berguguran dari rantingnya, melayang terhempas angin yang sedang
berlarian kecil. Suara sorak dan tawa laskar anak-anak pantai lamat-lamat meredup,
sejalan dengan menghilangnya hamparan pasir tergenangi air laut. Nuansa sore
itu sungguh indah, hingga puluhan nyiur pun ikut menari-nari mengikuti arah
hembusan angin, berlatarkan Teluk Kabung Selatan yang sungguh menawan.
”Kawan, jika aku boleh
mengajukan pertanyaan padamu, maka pertama kali aku akan menanyakan tentang
keadaan orang tuamu, adik-adikmu, kemudian keluargamu. Menanyakan apa yang
sedang Ibumu kerjakan, sehatkah beliau di rumah sementara kau berada jauh darinya.
Selain daripada itu, ada satu pertanyaan lagi yang teramat membuat penasaran
batinku. Sudahkah ada seseorang yang telah menambat hatimu?” tanyanya sembari
mendekat dan memandang penuh kehangatan, sedikit mengagetkan lamunanku.
Aku berusaha
menenangkan diri, berharap ia tak tahu kegelisahan yang sedang kusembunyikan.
Kusembunyikan? Bukankah aku belum mengenalnya secara baik, lantas apa gunanya
aku menyembunyikan segenap perasaanku darinya?
”Maaf kawan, apa yang
kau tanyakan tak membuatku merasa lebih baik,” kataku acuh kepadanya.
”Baiklah kalau
begitu, kusimpan saja semua pertanyaanku ini. Namun kuharap kau baik-baik saja
dengan keadaanmu,” timpalnya.
Sebenarnya, aku ingin
mengatakan kepadanya tentang isi hatiku. Sejujurnya, aku juga ingin menjawab
semua pertanyaannya, hanya saja masih ragu. Namun, keraguanku ini bukan karena
aku belum mengenalnya dengan baik, bukan pula karena aku ingin menyimpan
semuanya ke dalam bejana hatiku saja. Aku yakin itu...
”Pertanyaanku yang
terakhir. Kau jawab atau tidak, terserah, aku pasrah. Selanjutnya aku akan
pergi, menghilang di antara jejak kakimu,” pintanya setengah memelas.
”Baiklah, kali ini kuturuti permintaanmu,”
jawabku sambil tak henti memandang lambaian nyiur yang saling bergandengan.
”Aku tahu kau
sedang dilanda cinta. Kau hampir tahu itu, kepada siapa hatimu akan berlabuh.
Hanya saja kau masih bimbang, belum ada pandangan jelas tentang bidadari yang kau
pinta. Sekarang, siapa bidadari yang kau sembunyikan itu?”
Lagi-lagi aku tercengang, darimana ia tahu semuanya?
Setelah menarik satu nafas panjang, kukatakan
padanya, ”Silakan pergi kawan, pergilah jauh-jauh lalu sampaikan salamku kepada
para pejuang cinta. Di sana kau akan menemukan berbagai kisah indah tentang
perjuangan cinta sejati. Bersujudlah untuk memantapkanmu, mohonlah petunjukNya,
agar kau tak silau dengan kecantikan dunia yang melenakan. Lalu kembalilah
kepadaku, dan sampaikan apa yang telah kau dapatkan kepadaku,” ujarku lantas
meninggalkannya dalam kesendirian.
Beberapa langkah
kuayunkan, lalu kutoleh ke belakang. Ia telah menghilang, bersamaan dengan hembusan
angin darat yang menerpa dedaunan pohon waru yang tampak kering-menguning,
tepat di tepian pantai sore itu. Tak lama setelah itu, segera kusadari bahwa
jawaban terakhirku adalah bisikan darinya.
Posting Komentar