“Bumi gonjang-ganjing, langit kerlap-kerlip, trek
tek tek tek…”.
“Woii Setan Alas! Dekatkan mukamu kalau berani. Sini, biar kukepret
hidungmu yang besar itu!”, Kucluk si pria tambun dengan muka bulatnya yang
merah padam semakin menjadi-jadi marahnya, mengatai seorang sahabat yang kini
telah berseberangan opini dengannya, membelot dan bergabung dengan kelompok
seberang sungai kampung sebelah.
Harga dirinya bagai diinjak-injak, diambil paksa kemudian dilempar ke
tempat pembuangan kotoran. Kesal, marah, dan dendam membuncah, melebur menjadi
satu wadah. Jika dapat digambarkan, akumulasi dari emoticon jiwanya menyerupai
letupan Gunung Merapi yang menimbulkan wedhus
gembel. Gelap, panas, dan merusak apa saja yang dilewati, bahkan batu
sekalipun bisa memerah darah oleh energi thermal yang ditimbulkan.
Demi melihat Kemplu -lawan bicaranya itu- tersenyum dengan raut muka
yang menyebalkan, Kucluk semakin membabi buta, kehilangan akal dan logikanya.
Memang, Kemplu selalu begitu. Sejak kecil, perilakunya tak jauh berbeda
dengan posisinya sekarang sebagai seorang politikus. Pendiam, cool, dan kadang ceplas-ceplos, tanpa tedeng
aling-aling. Konon, sewaktu masih kecil ia adalah seorang anak yang
periang, ramai, suka tertawa, dan melucu. Namun, semenjak peristiwa dirinya digondol oleh jin -persis sehari sebelum
ulang tahunnya yang kesepuluh- ia berubah drastis, seratus delapan puluh
derajat. Kemplu menjadi sosok yang pendiam dan cenderung melankolis. Hanya sifatnya
yang aneh itu (eksentrik), sampai sekarang masih belum berubah. Namun demikian,
apapun itu, Kemplu merupakan sosok menyenangkan, ulet, dan cerdas. Lulusan
terbaik dari sebuah universitas terkemuka di ibukota ia sandang, seiring dengan
prestasinya di bidang non akademis yang cukup menggembirakan.
Salah satu sosok di balik keberhasilannya adalah Kucluk, rekan sejawat sekaligus
tetangga gang sebelah, seorang anak pengusaha kelas kakap. Ia lah yang
membiayai sebagian besar biaya kuliah Kemplu. Bakat wirausaha dari sang ayah
mengantarkan Kucluk menjadi seorang pengusaha muda yang cukup berhasil. Di usia
yang baru menginjak 19 tahun, Kucluk sudah mampu menghasilkan materi yang lebih
dari cukup untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Ia seorang dermawan, rendah
hati, pandai bicara, namun sayang, mudah percaya kepada orang lain. Dan sifat
terakhir inilah yang seringkali disalahgunakan oleh orang-rang kepercayannya.
”Wong ndeso mlebu kutho, wong kere munggah
mbayang, ora ngerti tata krama lan bales budi!” (Orang desa masuk kota, orang miskin naik kasur,
tidak tahu tata krama dan balas budi),
cerocos Kucluk semakin berapi-api.
Sekelebat ingatan Kucluk melayang ke masa puluhan tahun yang lalu: suasana
pedesaan yang membuatnya selalu merasa bahagia di tengah rerimbunan pohon,
gemericik suara sungai yang bermuara dari pegunungan, dan riang canda tawa
sahabat-sahabat masa kecil.
Seringkali mereka mandi bersama di sungai, bermain gundu, dan menebang satu
atau dua batang tebu di perkebunan parik gula –tentu saja tanpa sepengetahuan
penjaga kebun-. Seandainya bukan karena larangan kedua orang tuanya, Kucluk dengan
senang hati akan menawarkan kepada teman-temannya untuk bermain di taman bunga
halaman belakang rumahnya, berpesta barbeque,
lalu bermain-main di kamarnya yang luas dan pulas tertidur setelah mereka
puas bermain-main. Tapi hal itu mustahil terjadi, kecuali apabila nyali Kucluk cukup
besar untuk siap menerima konsekuensi jatah makan selama tujuh hari ke depan
sirna.
”Mau jadi apa kamu, bergaul sama anak-anak ingusan itu?” gertak sang ibu
saat Kucluk meminta ijin agar teman-temannya menginap di rumahnya pada suatu malam.
----
Seketika lamunan tentang nostalgia masa kecil Kucluk buyar. Kemplu, yang
kini dianggapnya sebagai bekas teman karibnya, nyengir. Senyumnya
mengembang, sampai-sampai gerigi kuningnya yang menandakan kebiasaan merokok
sebungkus-dua bungkus tiap hari itu menyeruak. Kucluk semakin memuncak
amarahnya. Bukan karena risih melihat
barisan kuning gigi Kemplu, namun lebih karena sifatnya yang masih sama seperti
dulu... innocent, bahkan semakin parah, dan membuatnya marah
sejadi-jadinya.
”Dasar Kemplu! Kamu nggak ingat,
siapa yang paling berjasa membuatmu seperti sekarang, kalau bukan aku? Lihatlah, rumah orangtuamu di desa Soro,
kecamatan Sedeng, kabupaten Ndlodro.
Siapa yang telah membangunnya menjadi rumah gedongan, dari semula yang hanya
bertembok gebyok beralas lemah ireng? Dasar wong gak ngerti bales budi kowe!”
Kucluk nyerocos tak tentu arah, sama sekali tidak mencirikan seorang
sarjana dan magister lulusan universitas terkemuka di Eropa (kehilangan
identitas dan jati dirinya sebagai seorang orator andal, politisi ulung,
motivator unggul, dan seabrek julukan hebat lain yang disematkan
kepadanya -meskipun tak sedikit yang menjulukinya ”retoris”-).
Lagi-lagi Kemplu tersenyum kecil, tak beranjak dari tempat duduknya. Sorot
mata pengusaha kelapa sawit itu masih
jelalatan ke kanan lalu ke kiri.
”Edan, di depan publik seperti ini kenapa aku yang jadi seperti setan
alas?” grundel Kucluk dalam hati.
Setali tiga uang, Kemplu pun sebenarnya memendam amarah luar biasa. Namun,
bukan dia kalau tidak pandai membaca situasi. Menghadapi kawannya yang memang
terkenal temperamental, ia memasang wajah cool.
Kucluk memberikan kode kepada beberapa anak
buahnya untuk menyingkir sejenak. Hingga hanya dia dan Kemplu saja yang mengisi
ruangan segi empat itu. Terkesan romantis, walaupun tampak sekali dipaksakan.
”Tuan Kucluk yang terhormat, maafkan saya. Skenario ini memang sudah saya
siapkan jauh hari sebelumnya.”
”Anda tahu kan, proyek terakhir Anda gagal total?” lanjutnya.
”Ya!” jawab Kemplu, singkat. Kedua
alisnya mengernyit.
”He he he... Tuan, sebenarnya saya lah yang meminta tuan gubernur untuk
membatalkan rencana pelelangan itu. Berkat saya lah dia sekarang bisa menduduki
jabatan seperti sekarang ini. Dia akan melakukan apapun yang saya inginkan, melalui
kekuasaannya tentu saja.” lanjut Kucluk.
”Lantas?” sergah Kemplu.
”Saya katakan bahwa proposal yang Anda ajukan sarat dengan rekayasa.
Bukankah memang demikian kenyataannya, Tuan Kemplu?”
” Kurang ajar!” gerutu Kemplu.
”Itu saja belum cukup. Aku pun sudah menghubungi semua calon peserta lelang
untuk mengundurkan diri,” seloroh Kucluk.
”Tapi, mengapa mereka menuruti keinginanmu?”
”Eits.. Perlu saya luruskan. Itu perintah, bukan keinginan”
”Perintah?”
”Iya, perintah. Asal Anda tahu saja, perusahaan-perusahaan itu adalah
milikku dan beberapa rekanku. Sengaja kusertakan dalam lelang untuk menjegal
perusahaanmu.”
”Biadab, tega sekali kau kepadaku!”
”Dengan begitu, hanya ada perusahaanmu yang masih tersisa dalam proses
pelelangan itu. Lalu, setelah melewati berbagai mekanisme birokrasi,
perusahaanmu batal menjadi pemenang. Selanjutnya, Tuan tahu sendiri, penyidik
kepolisian menyambangi rumah Tuan dan semuanya berjalan sangat cepat.
Ha..ha..ha..,” Kucluk semakin semangat menjelaskan.
”Oh ... begitu hinanya kelakuanmu itu. Apa alasan yang mendorongmu untuk
melakukan rencana keji ini,?” Kucluk memelas, pasrah. Nada suaranya melemah.
”Simpel. Aku tidak ingin memenangkan tender, aku pun tidak ingin perusahaanku
mendapatkan proyek itu,” jawab Kucluk.
”Lantas apa?” suara Kemplu mulai meninggi.
”Ningsih,” nada bicara Kucluk merendah. Kedua matanya memerah, tampak
sedikit berkaca-kaca.
Sebentar suasana agak dingin. Sepi. Sentimentil.
”Kau ... tahu
... kan..., Ningsih adalah gadis
idolaku, dulu ketika kita sama-sama di SMA?” Kemplu menghela nafas sejenak.
”Kau juga tahu kan, betapa cintanya diriku kepadanya. Bahkan aku sempat
berencana meminangnya. Kau tahu itu, aku pernah menceritakan panjang lebar
kepadamu waktu. Namun, tanpa ada sebab yang pasti, orang tuanya menolak
rencanaku. Meskipun kedua orang tua kami sudah saling bertemu dan telah
memastikan tanggal peminangan. Ternyata, beberapa tahun kemudian aku baru
mengetahui bahwa semua itu adalah skenariomu. Kau main di belakangku. Kau
menjegalku. Kau merebut ningsih dari aku!” nada Kucluk tampak meninggi.
”Edan! Masih saja kamu mempersoalkan hal itu?” Kemplu tampak emosi.
”Kau masih saja seperti dulu, egois!”, kata Kucluk.
” Kau sudah menghancurkan impianku untuk meminangnya!”
”Bahkan, akhirnya ibuku sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menanggung
malu aib keluarga,” tambahnya.
”Tapi ...” timpal Kemplu.
Serta merta Kucluk memotong pembicaraan kawannya itu, ”Itulah yang
membuatku patah hati. Itu pula yang menjadikan aku sampai sekarang enggan lagi
menjalin hubungan dengan perempuan.”
”Ehm ... Tapi ...”
”Hentikan! Rasakan pembalasanku. Setimpal! Selamat!” hardik Kucluk.
Satu nafas ia tarik, kemudian berkata lirih, ”Tuan Kucluk, saya permisi
dulu. Jikalau ada waktu, saya akan mengunjungi Anda lagi”.
Kemudian, ia pun pergi, dengan iringan beberapa bodyguard, sembari melepaskan senyuman khasnya. Bagi siapa saja
yang melihat akan terpesona, kecuali Kucluk yang memang sungguh muak dibuatnya.
Lambat laun hanya remang-remang bayangan Kemplu bersama rombongannya di lorong
ruangan segi empat itu yang tersisa. Tak terkecuali seorang perempuan berbaju
kuning gading mengikuti Kemplu dari belakang sembari menyinggungkan secuil
senyum. Segera Kucluk menyadari arti senyum mantan sekretaris pribadinya itu, senyum
yang persis seperti beberapa tahun lamanya saat mereka berdua saling
mengkhianati cinta suami-istri masing-masing.
Kucluk menerawang ke langit-langit ruangan kecil itu. Bayangan wajah
Ningsih yang manis, lembut, dan sangat perhatian kepada dirinya dan
anak-anaknya menyeruak di sela-sela syaraf memori otaknya. Kenangan
bertahun-tahun hidup berumah tangga dengan mendiang istrinya itu kini hadir
nyata seperti menatap tajam kedua matanya. Air matanya menetes. Tak lama
setelahnya, Kucluk bersuara lirih, ”Maafkan aku Ningsih, cintamu telah
kukhianati!”
Posting Komentar