Dik, tunggui
saja aku di depan pintu!
desingan peluru para
serdadu itu tak lebih menakutkan daripada gemercak ratapan sekumpulan rangda
yang memang
sudah sebulan ini memenuhi ruang udara kampung kita
Dik, tunggui
saja aku di depan pintu!
mereka barisan
pengecut, kita lempar ludah mereka berkalang kabut
menjerat pekikan
kami saja mereka lari sambil kencing berdiri
percaya lah, nurani
kami telah sepakat para penjajah dan cukong itu musti angkat kaki dari bumi
pertiwi
keringat dan bau
mulutnya ampun…tak pantas meraungi udara tanah kami
Dik, tunggui
saja aku di depan pintu!
sampaikan kepada
si awang, lebih baik tubuh berkalang tanah daripada musuh berpesta dan meludahi
muka kita
ingatkan kata
pepatah, “Mati satu tumbuh seribu!”, lalu bisikkan dengan halus, “Ayahmu tak
takut kolonialis”
Dik, tunggui
saja aku di depan pintu!
aku tahu kau pilu
di sana, seperti batu nisan yang merindui bunga kamboja
tapi tetap kau
tak pernah gentar, sebab kau dibesarkan dengan kata-kata tegar
Dik, tunggui
saja aku di depan pintu!
sebatang bambu
kuning ini kembali runcing setelah kau jerah dengan keringat dan gelora
darah dan air
mata
meski di medan ini
berhari-hari aku dicumbui darah, percayalah, dadaku tetap bergemetar, “hatiku
tetap dipeluk rindu”
Dik, maafkan daku!
janjiku meruap sudah,
di antara nafas yang lelah dan tubuh menengadah
tunggui aku di
depan pintu, bersama gempita si buyung yang menunggu
sudah, sekai
kedua matamu: ragaku telah mati, jiwaku tegak berdiri
Posting Komentar