Selasa, 08 Januari 2013

sesuatu bermula dari sini (1)



Semua bermula dari sini, di sebuah surau kecil kampung kami. Ukurannya hanya  sekitar 8x6 meter, dengan beranda berukuran 2x8 meter. Dinding bagian dalam yang bawah berwarna hijau, sedangkan yang atas berwarna putih. Ruangan disekat menjadi dua bagian, dengan kelambu tipis berwarna hijau. Sebelah utara untuk jama’ah perempuan, sebelah selatan untuk jama’ah laki-laki. Setiap menjelang bulan Ramadlan, warga sekitar disibukkan oleh berbagai aktivitas: mengepel lantai, mencuci karpet yang sudah kusam, membetulkan genteng yang menghitam, mengecat dinding, dan menyapu halaman kecil depan surau. Kami melakukan semuanya dengan kesadaran dan biaya yang kami tanggung sendiri. Biasanya kami memilih hari Minggu, saat kebanyakan dari kami istirahat dari rutinitas kerja sehari-hari. Atau kalaupun ada di antara kami yang mempunyai jadwal kerja, kami akan sempatkan sejenak untuk berkumpul di depan surau.
Pengurus surau pagi-pagi sekali mengumumkan adanya kerja bakti membenahi surau. Saya, dan beberapa anak-anak kecil lainnya pasti berada di barisan paling depan ”pasukan” pencuci karpet. Semata-mata hanya ingin naik mobil pick up yang kami sewa untuk membawa karpet ke tempat pemandian Bektiharjo. Sudah terbayang di benak kami tentang ramainya tempat wisata itu di akhir pekan. Tentang gemericik air bening, tentang rindangnya pepohonan di sana, serta tentang....hmmm....segelas es kelapa favorit kami tentunya.
Pagi itu, di hari minggu yang cukup cerah. Surau kami bernama Asy Syukron. Sederhana, dengan bentuk segi empat. Samping kanan, kiri, dan belakangnya adalah rumah-rumah penduduk. Di depannya terdapat halaman yang tidak terlalu luas, cukup untuk memarkir beberapa sepeda mini kami. Di sudut kanan depan surau kami, berdiri sebatang pohon belimbing. Sudah cukup tua, terlihat dari batangnya yang sudah berlubang di beberapa titik batangnya. Tapi, jangan heran saat musim panen belimbing tiba. Sekarung besar pun tak akan mampu memuat buahnya. Saat itulah peran kami, bocah-bocah ingusan pantai, untuk segera memetik ratusan buah segar itu.
Beberapa meter dari pohon belimbing terdapat sebuah kolam kecil, dengan kedalaman sekitar 1 meter. Pengurus surau sengaja membiarkan airnya mengeruh, sehingga terlihat agak kurang terawat. Ternyata bukan tanpa alasan. Pernah suatu ketika kutanya perihal itu, dan Mas Dodos, begitulah panggilan pengurus surau itu, menjawab singkat, “Coba Sampeyan lihat, itu kan ada beberapa ekor ikan lele. Mereka tidak menyukai air jernih, makanya Mas Dodos membiarkan airnya mengeruh”.
 Tak puas dengan jawaban yang seadanya itu, aku pun bertanya lagi, “kenapa mereka suka air yang keruh Mas?. Bukannya ikan suka air yang jernih?. Buktinya, ikan cupangku ada yang mati karena airnya keruh. Guruku pernah bilang, air yang keruh kadar oksigennya rendah, bisa menyebabkan ikan mati karena kurang oksigen”.
Mendengar penjelasanku yang panjang kali lebar itu, mas dodos tersenyum, lantas berkata, “Ikan lele bisa bernafas walaupun di dalam lumpur sekalipun, malahan dia kurang bisa berkembang kalo airnya jernih”.
Aku pun terdiam saat itu, masih ada sebuah pertanyaan mengganjal dalam hati, dan masih jelas kuingat, esok harinya aku menanyakan kepada guru di sekolah tentang alasan kenapa lele bisa bernafas dalam lumpur.
“Mas Dodos, mobil pick up sudah siap,” seru ihsan, kawan sepermainanku, yang juga sepupu mas dodos.
Bagi kami, aba-aba seperti itu terasa bagaikan panggilan lembut penghantar imajinasi. Ya, bayangan kami tentang pemandian Bektiharjo akan mendekati kenyataan. Lagi-lagi tentang gemericik air bening, tentang rindangnya pepohonan di sana, serta tentang....hmmm....segelas es kelapa favorit kami tentunya...
Lima belas menit perjalanan sudah kami lalui, maka sampailah kami di depan pintu pemandian. Aroma kesegaran alam pedesaan menyusup pori-pori hidung, mengalir bersama pesona khayalan tentang keindahan, kesejukan, dan aneka rencana yang bisa kami tuntaskan pagi itu. Setidaknya, ada beberapa kegiatan yang ingin kulakukan. Seandainya kau tahu, kau pun pasti akan melakukan hal yang sama. Berenang!. Iya, berenang... Namanya juga tempat pemandian, tentu saja kolam renang menjadi pusat arena berkumpulnya orang-orang untuk melepaskan diri dari kejenuhan rutinitas. Di sana ada satu kolam renang dengan ukuran agak luas. Terpisah dinding olehnya ada sebuah tempat mata air yang bening (kami menyebutnya sendang), biasa digunakan untuk membilas tubuh oleh bercampurnya air kolam renang dengan aroma tawas yang memang kadang cukup tinggi kadarnya.
Selain itu, ada satu hal menyenangkan yang sayang sekali untuk dilewatkan. Kau tahu kan, apa yang bisa dilakukan ketika mendapati pohon-pohon besar bersulur panjang menjuntai hingga ke tanah???. Bagi kami, itu adalah momen tepat untuk memanjat sembari bermain ”tangkap aku kalau mampu”. Semacam petak umpet, hanya saja dibagi dalam dua grup. Yang pertama, grup yang mengejar, yang kedua, grup yang berlari. Dan asal kau tahu saja, mengejar dan berlari bukan di atas tanah, tapi di ranting-ranting pohon!!. Untuk masalah ini, temanku bernama Redi yang paling jago. Berapapun tinggi pohonnya, ia pasti mampu menggapai puncaknya. Entah seberapa besar nyalinya, dan entah berapa puluh pohon ia taklukkan. Pernah suatu ketika kusempatkan untuk bertanya tentang cita-citanya. ”PILOT PESAWAT TEMPUR”, katanya lugas.
Habis Dluhur kami pulang. Karpet sudah bersih, walau tetap saja...usang..
...............
Ramadlan telah berjalan tiga hari, dan nanti malam bertepatan dengan malam minggu. Biasanya kami bermalam di surau. Dan... perjalanan sedang dimulai...
 Kami, anak-anak ingusan pantai, setelah acara tadarus Al Qur’an yang dilaksanakan bada Sholat Tarawih, sudah mulai stand by di musholla. Cukup lah untuk sekedar berbaring berjejer rapi bagi lima belas hingga dua puluh kepala. Sekitar pukul 11 malam, lampu kami matikan. Memang, bukan hanya kami saja penghuni malam itu, karena tak sedikit juga senior yang turut serta beristirahat di sana. Hanya bedanya, kami niatkan malam itu untuk tidur sejenak, lalu bangun sekitar pukul 2 pagi demi berkeliling membangunkan orang makan sahur. Berbagai perkakas kami gunakan untuk membentuk nada sederhana, kalau tak sopan untuk dikatakan ”suara bising pengganggu tidur malam”. Tiga atau empat potongan bambu kami sebut dengan ”tongklekan”, satu lempengan kecil besi, dan satu atau dua panci rusak kami pakai untuk berkonser tengah malam. Jangan dibayangkan akan berbentuk seperti konser orkestra atau sejenisnya, karena nanti kau akan kecewa. Bahkan tertawa. Namun, itulah kami, anak-anak ingusan pantai, yang mencoba untuk sedikit memberi arti kepada orang lain. Walaupun kadang tak berakhir bahagia.....
Suatu ketika, kami mulai parade tongklekan pukul 12 malam, niatnya hanya untuk pemanasan saja, saking gembiranya kami melewati malam pertama bulan Ramadlan. Tak disangka, dari belakang ada seorang bapak yang mengguyurkan air ke arah kami sembari memaki. Dengan nada marah dia memaki kami sambil mengabsen satu per satu  beberapa nama hewan yang dia ketahui. Tak ayal, selain tubuh kami basah, hati kami memendam rasa sakit. Ivan, seorang teman yang terkenal bandel, mempunyai ide brilian. ”Petasan,” katanya singkat.
Kami kembali ke musholla, di halamannya saja. Takut kena marah mas dodos kalau kami sampai meninggalkan bekas air di dalam musholla. Ivan mengambil beberapa bungkus petasan yang dibelinya tadi siang. Tak lupa, kami pasang kertas rokok yang berfungsi seperti sumbu agar tidak terlalu cepat meledak. Tanpa pikir panjang dan menghiraukan kondisi kami yang kedinginan, segera saja kami mengendap-endap menuju samping rumah pak Yono (bukan nama sebenarnya). Kami bergerak dengan sangat hati-hati, ivan bertindak sebagai peletak petasan, sedangkan saya sebagai pengawas sekitar, barangkali ada orang yang lewat. Kalau ada yang mengetahui tindakan kami, habislah kami!!.
Ihsan bertindak sebagai penyulut petasan. Dengan menggunakan korek api ayahnya, dengan sigap ia nyalakan satu per satu petasan yang telah dipasang oleh Ivan.. Tak kurang dari sepuluh buah. Rupanya ivan menaruh dendam kesumat. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu. Dan ia berhasil memprovokasi kami untuk ikut dalam siasat jahatnya. Kami dendam, hati kami panas, tak terima diperlakukan seperti itu. Kami mengekor ivan.
Beberapa detik berlalu, dan kami masih asyik menunggu apa yang akan terjadi. Kami tertawa cekikikan, membayangkan muka pak Yono setelah mendapati rumahnya kami ”ladar”. Di sebelah rumah Pak Yono, sekitar 50 meter, ada semak belukar, di baliknya adalah tanah lapang. Seandainya kami ketahuan, langsung saja kami putar badan dan kabur menuju tanah lapang. Lalu kami akan berpencar agar susah untuk ditangkap. Dan poin bertemunya tentu saja di Surau. Tutup pintu surau rapat-rapat, lalu kami pura-pura tidur. Sempurna!!. Begitulah siasat yang coba dijelaskan oleh Ivan. Kami mengangguk, aroma kemenangan sudah di depan mata.
Sekitar semenit kemudian, akhirnya saat itu pun tiba. Satu per satu petasan kami meledak, menimbulkan suara yang cukup gaduh di malam yang sunyi. Sekitar pukul 01.00. Keadaan sekitar lengang, jalanan kampung masih sepi. Mungkin orang-orang masih tidur, atau melakukan tilawah dan sholat malam di dalam rumah. Tak kuasa tawa kami meledak, berbarengan dengan seseorang yang keluar dari rumah sembari mengeluarkan umpatan. Kami diam beberapa saat, mengamati orang itu, yang ternyata adalah pak Yono. Ia mondar-mandir menyebar pandangan ke sana kemari. Tak menemukan siapa-siapa di sekitarnya, ia pun masuk kembali ke rumah. Marah, kesal, dan penasaran sepertinya terpancar dari gerak-gerik tubuhnya. Kulirik ivan, mukanya merah menahan tawa. Dua garis pancaran sinar lampu penerang jalan mengenai muka bulatnya. Senyumnya mulai mengembang lebar, sejalan dengan pekikan suara tawanya yang mulai lepas. Tanpa pikir panjang, pelan-pelan kami melangkah mundur, balikkan badan, dan langsung....KABUR!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar