Selasa, 08 Januari 2013

sesuatu bermula dari sini (2)



Kami berjalan mengendap-endap memasuki surau. Keadaan gelap dan hangat. Beberapa orang masih terlelap dalam mimpi. Suara hewan malam masih saja merambat lambat. Masing-masing dari kami mencari tempat yang kosong untuk merebahkan diri. Ku sempatkan untuk menghitung satu per satu  personil. ”Lengkap”, batinku lega. Samar-samar kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.20. Tanpa komando, langsung saja kami berusaha menutup mata. Perasaan bercampur aduk, antara puas, bahagia, dan penyesalan. Beberapa menit kucoba untuk tidur, namun gagal. Kutunggu sampai hampir setengah jam, akhirnya kantuk pun menyapa. Kusempatkan untuk menyebarkan pandangan, sebagian sudah terlelap. Tampak jelas ivan sedang gelisah, sorot lampu teras menyelinap lewat ruas-ruas jendela kayu menerpa tubuhnya. Sekali-kali ia mainkan jemarinya, ia satukan yang kanan dan kiri membentuk lingkaran, lalu segitiga, kemudian bentuk hati, lantas....keadaan gelap, aku tertidur pulas.
Kawan, kugambarkan sedikit tentang kampungku. Namanya Sukolilo, berada di ujung timur Kecamatan Tuban. Ada tujuh jalan kecil di sana, kami sebut dengan ”gang” (bukan gangster lho). Untuk memudahkan mendapatkan alamat, biasanya kami menyertakan gang pada isian alamat rumah kami. Lebih mudah memang, dibandingkan dengan pencarian melalui nomor RT atau RW. Oleh karena itulah, kami ”terprimordialkan” oleh gang-gang ini. Terkhusus bagi kami, bocah-bocah ingusan. Darah kami akan cepat mendidih ketika ada salah satu dari teman sesama gang kami yang diganggu oleh anak-anak gang lain. Bisa-bisa kami tawur mereka!. Untuk masalah kecil saja, kami sering beradu mulut. Yang paling seru ketika ada turnamen ”jago kapuk”, alias turnamen sepak bola se kelurahan. Tak jarang ada perkelahian, lagi-lagi dipicu oleh ”senggolan” dengan pemuda lain gang.  Ah, itu tak kalah seru dengan kisah kami di bawah ini, kawan...
Suatu pagi yang cukup dingin di bulan Ramadlan, kami memulai tongklekan. Rute kami dimulai dari surau Asy Syukron, kemudian ke arah gang tujuh. Kalau tidak salah, waktu itu kami sekitar kurang lebih sepuluh orang. Mas Faris sebagai dirigen nya, mengatur sedemikian rupa susunan perangkat penabuh alat beserta susunan barisnya. Untuk masalah ini, dia perfeksionis. Tak segan ia akan memarahi kami jika ada yang melanggar aturan darinya. Kami menurut saja, toh dia paling senior. Jadi, bila ada yang macam-macam, setidaknya dia yang maju duluan.
Beberapa meter sudah di ujung gang 6. Artinya, kami akan menyusuri jalur pantura jawa timur. Ya, kota kami memang dilalui oleh jalur pantura, hasil keringat pahlawan kita yang dipaksa oleh penjajah Belanda. Daendels, begitulah sebagian orang menamai jalan ini, menyebut seorang pejabat Belanda waktu itu yang memimpin pembuatan jalan dari Anyer-Panarukan ini.
”Tok tek tok tek dung dung dung”... Suara serempak pemecah keheningan (kalo tidak sopan untuk dikatakan sebagai pemekak telinga). Semangat kami membara, seiring dengan terdengarnya sayup-sayup suara tongklekan dari grup-grup lainnya. Pagi itu damai, tak ada bentrokan antara kami dan mereka.
Seringkali kami menyalakan petasan untuk meramaikan suasana. Namun, pagi itu kami kebetulan tidak menyalakan satu petasan pun. Perjalanan dilanjutkan...
Sesampainya di depan gang tujuh, seseorang dari belakang berteriak lantang, memanggil-manggil kami, sambil berlarian kecil. Rupanya Pak Malik (bukan nama sebenarnya), pemilik pabrik kopi di kelurahan kami. Kami berhenti. Langsung saja dengan nada marah beliau membentak, ”Siapa tadi yang menyalakan petasan di samping rumah saya?”
 Kami memandang satu sama lain. Ku jelaskan kepada beliau bahwa tak ada satu pun dari kami yang menyalakan petasan.
 ”Kalian nggak tahu, ibu saya sedang sakit keras. Tadi suara petasan mengagetkannya, dan kami sangat terganggu dengan ulah kalian. Kalau mau tongklekan ya tongklekan saja, nggak usah menyalakan petasan. Awas ya, kalo ada apa-apa, akan saya laporkan kalian ke polisi,” katanya.
 Sungguh, waktu itu darahku berdesir, takut. Membayangkan bagaimana seandainya benar-benar terjadi. Penjara? Polisi?. Dua kata yang membuat bulu kuduk berdiri. ”Bagaimana nanti kalau dipenjara? Bagaimana perasaan kedua orang tua? Bagaimana perlakuan kepada kami di sana? Lantas, apakah bisa meneruskan sekolah setelah keluar dari penjara?” pertanyaan itu menghantui diriku.
 Apalagi, adikku satu-satunya ikut bersama rombongan kami. Bukankah sebelum berangkat tongklekan tadi, ia kupaksa untuk ikut?. Aku merasa bersalah pada diriku sendiri.  Mungkin, pertanyaan serupa bergelayut di benak teman-teman lainnya.
Satu hal yang kusesalkan adalah ketika beberapa temanku memilih kabur, melarikan diri. Sementara sisanya sekitar lima orang, termasuk aku dan adikku, masih saja mendapati ceramah menakutkan dari Pak Malik. Kami hanya tertunduk lesu, tak berani memandang ke arah mukanya.
 Sudah panjang lebar kami sampaikan kepada Pak Malik bahwa kami tidak menyalakan satu petasan pun. Tapi, rupanya Pak Malik bersikukuh pada keyakinannya, bahwa tidak ada rombongan tongklekan kecuali kami yang melewati samping rumahnya saat itu. Hawa dingin pagi itu menusuk tulang, terlebih lagi adrenalin kami terpacu hebat. Sarung yang kuselempangkan ke bahu segera kuselimutkan ke badan. Syukurlah, beberapa waktu kemudian, Pak Malik melepaskan kami sembari berucap, ”Awas ya kalau sampai terjadi apa-apa, kulaporkan ke Polisi Kalian”.
 Kami lemas, tak bergairah....
Beberapa langkah kami ayunkan untuk kembali ke surau. Dari arah belakang, beberapa senior kami tersenyum dan ada yang tertawa, berjalan mendekati kami. Salah satu dari mereka menanyakan apa yang telah terjadi. Pertanyaan retorika, karena sedari tadi kulihat mereka sudah mengetahui apa yang terjadi. Dengan nada sindiran mereka berkata panjang lebar, berusaha untuk memojokkan kami. Kami tak berani melawan. Kami diam, sesekali memberikan sedikit argumen pembelaan, bahwa kami tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Pak Malik.
Mas Ari, salah satu dari mereka berucap, ”Makanya jangan menyalakan petasan di dekat rumah orang, begini kan jadinya”.
Mukanya waktu itu menahan senyum kemenangan, terpancar dari raut kulit sekitar mata dan bibirnya. Ingin rasanya kuhantam muka itu, seandainya kami berdua sepadan. Oiya, Mas Ari adalah kakak kandung ivan (masih ingat kan dengan ivan?). Kebetulan waktu itu dia tidak ikut bersama rombongan. Tingkah senior yang terus menerus mencibir kami menimbulkan perasaan curiga. Bagaimana bisa mereka mengetahui secara persis kejadian dari awal sampai akhir?. Ini jawabnya...
Teguh, salah satu temanku, memberanikan diri untuk berkata, ”Jangan-jangan sampeyan Mas yang menyalakan petasan?. Kok tahu persis apa yang telah terjadi?”
Mas Ari melirik beberapa temannya, lalu tertawa. ”Mana mungkin, emangnya kalian tadi melihat aku menyalakan petasan di samping rumah pak malik?”
 Teguh menambahkan, ”Tadi kulihat Mas Ari sekilas di belakang kami ketika melintas di samping rumah Pak Malik”.
 ”Hahaha,” Mas Ari tertawa, lalu meninggalkan kami bersama teman-temannya yang lain.
Kami pun terdiam, lalu berjalan menuju surau. Sesampainya di surau, kami rebahkan diri sebentar, lalu kembali ke rumah masing-masing dengan membawa sejuta rasa kalut, takut, dan cemas. Esok harinya kami lalui dengan perasaan was-was, khawatir kalau pak malik datang membawa beberapa polisi beserta mobilnya untuk mambawa kami ke penjara. Oh...betapa menyesalnya kami seandainya itu menjadi kenyataan.
Beberapa hari kemudian, baru kami dengar kabar bahwa memang Mas Ari dan rombongan lah pelaku semuanya. Namun apapun itu, kami sangat bersyukur, karena pak malik tidak pernah lagi mempermasalahkan apa yang telah terjadi antara kami dengannya..
Sungguh, pagi yang menegangkan....











Tidak ada komentar:

Posting Komentar