Sepotong bakpel (waffle) seribu arti


 


Pagi itu adalah pagi yang cerah di hari Jum’at. Seperti biasa, aku berada di kantor untuk menjalankan tugas sehari-hari. Tidak ada yang terasa istimewa saat itu, sebelum sebuah kejadian kecil yang memiliki makna kenangan bagiku. Begini ceritanya…

 Saat itu aku berada di kursi kerja, di depan komputer sambil membaca Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008. Tiba-tiba, seorang kasubbag (mantan kasubbagku) berjalan menuju arahku dengan agak tergesa-gesa sembari berkata, “Da, aku punya oleh-oleh ni untukmu”. Sedikit terkejut, aku segera melepaskan fotokopian PP yang sedang kubaca, dan kuarahkan pandangan ke arahnya. “Eh, iya Pak? apa itu?”, tanyaku penasaran. Tanpa berkata apapun, beliau mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. “Ini ada kue bakpel”, ujarnya. Seketika kuraba kejadian-kejadian sebelumnya, apa yang membuat beliau memberikan oleh-oleh bakpel itu. Rasa-rasanya, aku tak pernah meminta dibawakan oleh-oleh apapun. Sejenak ku berpikir, kemudian aku teringat suatu kejadian beberapa minggu sebelum peristiwa itu terjadi…

 Di kantorku, biasanya ada seorang ibu menjual barang dagangan berupa aneka kue jajanan pasar. Saat itu aku menanyakan kepada beliau apakah ada kue bakpel yang beliau jual. Awalnya beliau bingung, apa itu bakpel. Setelah beberapa saat kujelaskan, beliau baru paham. Rupanya, bakpel berasal dari kata “waffle”. Itu lho, jajanan asal eropa yang mulai digemari di tanah air. Namun, di kotaku, kue itu disebut dengan “bakpel”. Bentuknya mirip waffle, namun jauh berbeda dari segi bahan dan rasa. Mungkin, bakpel merupakan tiruan dari “waffle”. Atau boleh dikatakan bakpel adalah waffle nya orang Indonesia. Setidaknya, itu definisiku sendiri.

 Ternyata Pak T  mendengar percakapan kami, dan menukas, ”Bakpel itu apa sih Da?”. Kujelaskan singkat (karena malas untuk mengulang penjelasan dua kali,hehe), “Bakpel itu kue yang terbuat dari tepung terigu dan bahan-bahan lainnya Pak, biasanya bentuknya seperti hati dan rasanya manis”. “Oh..gitu ya…”. Okey, cerita berhenti sampai di sini, karena memang hanya inilah inti percakapan yang nantinya berdampak kepada kejadian jumat pagi itu. Mari kita lanjutkan ceritanya…

 Sebenarnya, bukan rasa ataupun harga bakpel yang terasa istimewa buatku. Tapi nilai perhatian itulah yang membuat hatiku tersentuh. Tak kusangka memang, ternyata berawal dari sebuah percakapan biasa berujung kepada perhatian yang ditunjukkan mantan bosku yang melahirkan rasa simpati padanya. Kukira percakapan itu sekedar dialog antara aku dan mantan bosku mengenai bakpel, namun di balik itu semua terdapat sebuah nilai personal maupun sosial. Jikalau dirupiahkan, mungkin harga sepotong bakpel itu tak lebih dari lima ribu rupiah, namun, bagiku kala itu bernilai tak kurang dari lima juta rupiah. Ya, sepotong bakpel seribu arti..

 Kukira peristiwa ini cocok untuk kutulis, biar kelak bisa kuceritakan kepada istri, anak-anak, maupun ke semua orang, bahwa kebaikan yang kita sampaikan kepada orang lain walaupun sedikit mampu untuk selalu diingat, dikenang, dan dijadikan pelajaran. Yuk, kita berbuat baik kepada siapapun, dalam bentuk sekecil apapun….

0 تعليقات

إرسال تعليق

Post a Comment (0)

أحدث أقدم